Rabu, 27 Oktober 2010

PANDANGAN ISLAM TERHADAP AGAMA YAHUDI, KRISTIAN (NASRANI), DAN AGAMA-AGAMA YANG LAIN

Pandangan terhadap Agama Yahudi:
Orang-orang Yahudi berkata: "Uzair itu putera Allah" dan orang-orang Nasrani berkata: "Al Masih itu putera Allah." Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka , bagaimana mereka sampai berpaling? (at-Taubah, 9:30)
Kaum Yahudi bukan sahaja menuduh ALLAH memiliki anak, tetapi juga mengubah ajaran-ajaran yang ada di dalam kitab Taurat dengan tulisan tangan mereka. Hal ini diterangkan oleh ALLAH di dalam firman-NYA:
Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan. (al-Baqarah, 2: 79)
(Tafsiran Tambahan: Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ayat ini (S. 2: 79) turun tentang ahli kitab yang memalsukan Taurat.
(Diriwayatkan oleh an-Nasa'i yang bersumber dari Ibnu Abbas.)
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa turunnya ayat ini (S. 2: 79) tentang padri-padri bangsa Yahudi yang mendapatkan sifat-sifat Nabi SAW tertulis dalam kitab Taurat yang berbunyi: Matanya seperti yang selalu memakai cela, tingginya sedang, rambutnya kriting, mukanya cantik." Akan tetapi mereka hapus (kalimat tersebut dari Taurat) karena dengki dan benci serta menggantinya dengan kalimat: "Badannya tinggi, matanya biru, rambutnya lurus." (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dari Ikrimah yang bersumber dari Ibnu Abbas.)
Atas penyimpangan-penyimpangan ini, Islam tidak mengiktiraf Yahudi sebagai agama yang benar.
Pandangan Islam Terhadap agama Nasrani (Kristian)
Sebagaimana agama Yahudi, agama Kristian juga telah diselewengkan pleh para penganutnya. Penyelewengan yang paling besar ialah iktikad mereka terhadap konsep Trinity, iaitu konsep tiga tuhan dalam satu (bersama) iaitu God The Father, Jesus The Son, and The Holy Spirit (Ruhul Qudus). Iktikad mereka ini ditolak oleh ALLAH melalui Firman-NYA:
Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam", padahal Al Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu." Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.
Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: "Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga", padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. (al-Ma’idah, 5:72-73)
Selain itu, para penganut agama Nasrani (Kristian) juga tidak terlepas daripada membuat pelbagai pertukaran di dalam kitab injil yang diturunkan kepada mereka. {Rujuk Izhar al-Haq oleh Syaikh Rahmatullah al-Hindi (1308H) (Dar al-Hadith, Kaherah 2001)] pertukaran ini masih dilakukan sehingga kini, bukan sahaja di negara-negara Barat tetapi juga di Indonesia. [Rujuk Dokumen Pemalsuan al-Kitab oleh Molyadi Samuel (Victory Press, Jakarta 2002)] Bahkan di atas segala ini, mereka masih mencipta pelbagai doktrin baru yang bertentangan dengan kitab Injil yang telah mereka tukar tersebut. [Rujuk Christianity Through The Lens of Christian and Muslim Scholars, Book 1 & Book 2 M. Amin Yaakob (Jahabersa, Johor Bahru 2004)]
Maka, atas penyimpangan-penyimpangan ini, agama Nasrani tidak dianggap sebagai agama yang benar di sisi Islam.
Pendirian Islam Terhadap Agama-Agama Yang Lain Termasuk Agama Berhala
Al-Qur’an al-Karim adalah sebagai sebuah kitab yang lengkap tentu sekali tidak terlepas daripada membicarakan status agama-agama penyembah berhala, sama ada berhala tersebut terdiri daripada matahari, patung, atau apa-apa jua selain ALLAH.
[1] Terhadap Penyembah Matahari
(Burung Belatuk menerangkan kepada Nabi Sulaiman): “Aku mendapati raja perempuan itu dan kaumnya sujud (menyembah) kepada matahari dengan meninggalkan ibadat menyembah Allah; dan syaitan pula telah menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan (syirik) mereka lalu menghalangi mereka dari jalan (yang benar), sehingga mereka tidak dapat petunjuk”, (an-Naml, 27:24)
[2] Terhadap Penyembah Patung Ukiran (Buatan)
Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim. Ketika ia berkata kepada bapaknya dan kaumnya:"Apakah yang kamu sembah? Mereka menjawab:"Kami menyembah berhala-berhala dan kami senantiasa tekun menyembahnya". Berkata Ibrahim:"Apakah berhala-berhala itu mendengar (do'a)mu sewaktu kamu berdo'a (kepadanya)? atau (dapatkah) mereka memberi manfa'at kepadamu atau memberi mudharat"? Mereka menjawab:"(bukan karena itu) sebenarnya kami mendapati nenek moyang kami berbuat demikian". Ibrahim berkata:"Maka apakah kamu telah memperhatikan apa yang selalu kamu sembah, kamu dan nenek moyang kamu yang dahulu? karena sesungguhnya apa yang kamu sembah itu adalah musuhku, kecuali Tuhan Semesta Alam, (yaitu Tuhan) Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku, (as-Syu’ara, 26:69-78)
[3] Terhadap Agama Pelbagai Tuhan Yang Dianggap Oleh Para Penganutnya Sebagai Apa Sahaja Boleh Dianggap Sebagai Tuhanat Berhala Sebagai Penghubung Kepada Tuhan
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari
Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, nescaya rosaklah pentadbiran keduanya.. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai 'Arsy daripada apa yang mereka sifatkan. (al-Anbiya’, 21:22)
[4] Terhadap Pembusyirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata):"Kami tidak menyembah mereka melainkan adalah supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya".Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya.Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar. (az-Zumar, 39:3)
Maka mengapa yang mereka sembah selain Allah sebagai tuhan untuk mendekatkan diri (kepada Allah) tidak dapat menolong mereka.Bahkan tuhan-tuhan itu telah lenyap dari mereka Itulah akibat kebohongan mereka dan apa yang dahulu mereka ada-adakan. (al-Ahqaf, 46:28)
Kesimpulan:
Daripada ayat-ayat di atas, jelas kepada kita bahawa al-Qur’an membicarakan tentang agama-agama yang menyembah tuhan-tuhan selain ALLAH tanpa mengira apa dan bagaimana tuhan-tuhan tersebut dengan nada yang negative dan tercela (tidak mengiktiraf). Ini adalah tidak lain menunjukkan penolakan Islam terhadap kebenaran agama-agama tersebut.
Berdasark dalil-dali al-Qur’an tersebut juga jelas ALLAH telah membicarakan perihal pelbagai jenis agama yang wujud di muka bumi ini seperti Yahudi, Kristian, Budha, Hindu, Tao, dan ratusan agama lagi. Dengan jelas juga, al-Qur’an telah menolak kebenaran agama tersebut. Dalam apa yang dibicarakan melalui al-Qur’an, yang penting bukanlah nama agama tetapi asas yang membentuk iktikad tauhid sesuatu agama. Dengan cara ini perbahasan al-Qur’an terhadap agama-agama penyembahan selain ALLAH akan sentiasa relevan pada semua zaman dan tempat. Seterusnya, ini telah mengingatkan kepada kita bahawa agama penyembahan selain ALLAH (yang dicipta oleh manusia) sentiasa akan muncul di sana sini tanpa mengira zaman mahupun tempat. Demikianlah kemukjizatan al-Qur’an al-Karim.
Seruan al-Qur’an Kepada Umat Manusia
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (an-Nisa’: 82)
Hai manusia, sembahlah Tuhan-mu Yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui. (al-Baqarah, 2:21-22)
Katakanlah:"Dialah Allah, Yang Maha Esa". Allah adalah Ilah yang bergantung kepada-Nya segala urusan. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia. (al-Ikhlas, 1-4)
Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) meereka bersedih hati. (al-Baqarah,. 2:62)
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu). Tak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya. (Ali Imran,. 3:18-19)
Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang rugi. (ali-Imran. 3:85)
Sesungguhnya dalam penciptaan langit langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):"Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. (Ali Imran, 3:190-191)
“Dan juga pada diri kamu sendiri, maka mengapa kamu tidak mahu melihat serta memikirkan (dalil-dalil dan bukti itu)”. (az-Zariyat: 21)
"Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya: 'inilah dari Allah', (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan kecelakaan besarlah bagi mereka, akibat dari apa yang mereka kerjakan." (Al-Baqarah: 79)
“Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat, dan tidaklah (pula sama) orang-orang yang beriman mengerjakan amal soleh dengan orang-orang yang derhaka. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran.” (al-Mu’min: 58)
“Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya.” (ar-Ruum: 8)
“(al-Qur’an) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertaqwa.” (Ali-Imran: 138)
"(Al-Quran) ini adalah penjelasan yang sempurna bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengannya, dan supaya mereka mengetahui bahawasanya Dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan agar orang-orang yang berakal mengambil pelajaran". (Ibrahim: 52)
“…Katakanlah lagi (kepadanya): Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang-orang yang dapat mengambil pelajaran dan peringatan hanyalah orang-orang yang berakal sempurna”. (Surah Zumar: 9)
Seruan Buat Para Muslimin dan Muslimat (Marilah Menerangkan Kebenaran)
Dan katakanlah:"Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (al-Kahfi, 18:29)
Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya (Yunus, 10:99)
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang akamu kerjakan. (al-Ma’idah, 5:8)
Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (al-Mumtahanah, 60:9)
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (an-Nahl, 16:125)
Pendirian Sebagai Umat Islam
Katakanlah:"Dialah Allah, Yang Maha Esa". Allah adalah Ilah yang bergantung kepada-Nya segala urusan. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia. (al-Ikhlas, 1-4)

Selasa, 26 Oktober 2010


Setelah Islam berkembang dan meluas, dan bangsa Arab sudah bergaul dengan bangsa-bangsa lain, maka dibuatlah peraturan-peraturan/kaedah bahasa Arab. Hal ini, selain untuk menjaga orisinilitas bahasa itu sendiri sebagai bahasa Al-Qur'an , juga untuk memelihara dari pengaruh bahasa lain, serta untuk lebih mempermudah bagi bangsa lain mempelajarinya. 
Oleh H. Fachrurrozy Pulungan, SE

Muqaddimah

Setelah Islam berkembang dan meluas, dan bangsa Arab sudah bergaul dengan bangsa-bangsa lain, maka dibuatlah peraturan-peraturan/kaedah bahasa Arab. Hal ini, selain untuk menjaga orisinilitas bahasa itu sendiri sebagai bahasa Al-Qur'an , juga untuk memelihara dari pengaruh bahasa lain, serta untuk lebih mempermudah bagi bangsa lain mempelajarinya.

Disamping hal-hal tersebut, banyak pula peristiwa-peristiwa yang timbul dalam lapangan kehidupan, sehingga ulama-ulama yang tersebar diberbagai negeri-negeri baru itu ada yang cara berpikirnya dipengaruhi oleh lingkungan dan tempatnya berada. Karenanya, masing-masing ulama dalam melakukan ijtihad (pembicaraan tentang pembentukan atau pengembangan hukum) dan pengambilan keputusan hukum/istimbath berjalan sendiri-sendiri yang dipandangnya benar sesuai kapasitas keilmuan yang dimilikinya.Keadaan seperti ini tentu saja menimbulkan perbedaan pendapat, baik sebagai keputusan hakim maupunqih   
Akibat dari perbedaan-perbedaan pendapat para ulama, timbullah satu pemikiran untuk membuat peraturanperaturan dalam ijtihad dan penetapan hukum, yang pada gilirannya dapat diperoleh pendap sebagai fatwa, bukan hanya antara satu negri dengan negri yang lain, bahkan antara satu daerah dengan daerah lain dalam satu negeri.
       
Sejarah Ushul Fiat yang benar dan setidak-tidaknya agar dapat memperpendek jarak perbedaan-perbedaan pendapat tersebut. Dan peraturan-peraturan tersebut dikenal sebagai ilmu Ushul Fiqih. Ilmu ini diperkenalkan pada abad ke tiga Hijriah secara sistematis oleh imam Syafi'i rahimahullah yang kemudian dianggap sebagai perintis atau bapak yurisprudensi dalam Islam. Dan berdasar nash pula para mujtahid mengambil 'illat/sebab yang menjadi landasan hukum serta mencari maslahat yang menjadi tujuan hukum/maqashid al syari'ah, sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Qur'an maupun Sunnah Nabi SAW.
      
Definisi Ushul Fiqih
Dari segi ketatabahasaan Arab, kata Ushul Fiqih adalah 'tarkib idhofi'/kata majemuk , terdiri daru dua suku kata, ushul dan fiqih yang menjadi 'mudhof/keterangan dan mudhof ilaih/yang menerangkan. Kata Ushul adalah jamak dari akar kata 'ashl' yang menurut bahasa berarti 'sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain', sedang menurut istilah berarti 'dalil'. Sedang kata Fiqih menurut bahasa berarti 'pemahaman yang mendalam tentang tujuan suatu ucapan dan perbuatan, seperti diisyaratkan Allah dalam firman-Nya dalam surah an Nisa' ayat 78 "famalihaulai al qoumi la yakaduna yafqohuna hadis". Kata yafqohuna bermakna 'memahami'. Demikian juga dalam hadis Nabi SAW yang menyatakan " man yuridallahu bihi khoiran yufaqqihu fiddin"/barang siapa yang dikendaki Allah sebagai orang yang baik, Allah akan memberikan pemahaman kepadanya dalam persoalan-persoalan agama. (H. Muttafaqun 'alaih).

Sebagaimana dikatakan Abdul Wahhab Khallaf  bahwa Fiqih adalah kumpulan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalil yang terperinci. Dari pengertian ini maka dapat diketahui, bahwa pembahasan ilmu Fiqih adalah tentang hukum-hukum yang rinci pada setiap perbuatan manusia, baik halal, haram, wajib, sunnat, makruh dan mubah beserta dalilnya masing-masing. Sementara itu ulama mendefinisikan Ushul Fiqih adalah kaedah-kaedah yang menjelaskan metode, seperti diungkapkan Prof. Abu Zahrah dalam kitab Ushul Fiqihnya " al 'ilmu bilqowa'idillati tarsumu al manahiju liistimbathi al ahkami al 'amaliyati min adillatiha al tafshiliyati"/ilmu tentang kaedah-kaedah yang menggariskan jalan-jalan untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci.
   
Hubungan Ushul Fiqih dengan Fiqih

Hubungan ilmu Ushul Fiqih dengan Fiqih adalah seperti hubungan ilmu Mantiq/logika dengan filsafat, bahwa manthiq merupakan kaedah berpikir yang memelihara akal, agar tidak terjadi kekacauan dalam berpikir. Selain itu, fungsi Ushul Fiqih adalah membedakan antara istinbath yang benar dengan yang salah. Sebagaimana ilmu Nahu berfungsi untuk membedakan antara susunan bahasa yang benar dengan susunan bahasa yang salah. Demikian pula dengan ilmu Ushul Fiqih, merupakan kaedah yang memelihara fuqoha/ahli fiqih agar tidak terjadi kesalahan di dalam menggali dan menetapkan hukum.

Obyek Pembahasan Ushul Fiqih
Sesuai dari keterangan tentang pengertian ilmu Ushul Fiqih, maka yang menjadi obyek pembahasan ilmu Ushul Fiqih meliputi:

(1).Pembahasan tentang dalil-dalil/hukum syara', yaitu macam-macamnya, rukun atau syarat masing-masing dari ragam dalil itu, kekuatan dan tingkatan-tingkatannya.

(2). Pembahasan tentang hukum, yaitu pembahasan secara umum, tidak dibahas secara rinci bagi setiap perbuatan. Pembahasan tentang hukum ini meliputi macam-macam hukum dan syarat-syaratnya. Dan dalam hal ini dibagi kepada:

a). Yang menetapkan hukum/al hakim ( yaitu Allah SWT). "Inna al hukmu illalloh". Q.S. al An'am. A.57
b). Obyek hukum atau perbuatan yang dihukumkan/mahkum fih, yaitu perbuatan-perbuatan orang mukallaf yang dihukumkan padanya, sebagai akibat dari bermacam isi dan maksud yang terkandung dalam firman Allah dan sabda Nabi Muhammad SAW.

c). Subyek hukum atau yang menanggung hukumnya/mahkum 'alaih, yaitu orang mukallaf, dimana perbuatannya menjadi tempat berlakunya hukum Allah. Seperti misalnya, firman Allah "aqimus sholah."/dirikan shalat. Perintah ini ditujukan kepada orang mukallaf yang dapat mengerjakan shalat, bukan ditujukan kepada anak-anak atau orang gila. Hak-hak Allah maupun hak-hak manusia, bagaimanapun juga macamnya, tidak dibebankan kecuali kepada orang yang mempunyai kemampuan. Karenanya kemampuan orang mukallaf menjadi dasar adanya taklif/pertanggungan jawab.

(3). Pembahasan tentang kaedah (= teori yang diambil dari atau menghimpun masalah-masalah fiqih yang bermacam-macam sebagai hasil ijtihad para mujtahid), yaitu yang digunakan sebagai jalan untuk memperoleh hukum dari dalil-dalilnya, antara lain mengenai ragamnya, kehujahannya dan hukum-hukum dalam mengamalkannya.

(4). Pembahasan tentang ijtihad, yaitu pembicaraan tentang berbagai hal, syarat-syarat bagi orang yang boleh melakukan ijtihad, tingkatan-tingkatan orang dilihat dari kacamata ijtihad dan hukum-hukum melakukan ijtihad.
             
Hukum Syara'
Salah satu Ushul Fiqih meninjau hukum syara' dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu Fiqih meninjau dari segi hasil penggalian hukum syara', yaitu ketetapan Allah SWT  yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa tuntutan perintah atau larangan/iqtidha', pilihan/takhyir, maupun sebab akibat/wadh'i. Dan yang dimaksud dengan ketetapan Allah terhadap sesuatu yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf; seperti hukum haram, wajib, sunnat (sunnah), makruh, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani') dan lainnya.

Seperti hubungan antara pembagian harta pusaka dengan kematian seseorang, di mana kematian seseorang menjadi sebab berhaknya ahli waris terhadap pemilikan harta pusaka dari orang yang mati. Bisa juga hubungan antara dua hal, yang satu menjadi syarat bagi terwujudnya yang lain, mengambil wudhu' misalnya adalah syarat untuk mengerjakan shalat atau syarat adanya saksi bagi sahnya suatu pernikahan. Dengan demikian disimpulkan, bahwa hukum syara' dibagi menjadi dua hal, yaitu 1) yang  berupa iqtidha' dan takhyir disebut hukum taklifi. 2). Hukum yang menghubungkan antara dua hal (sebab-akibat) disebut hukum wadh'i.
          
Sumber Hukum
Kata dalil (jamaknya al adillah) menurut bahasa berarti 'petunjuk' kepada sesuatu yang dapat menyampaikan dengan pandangan yang benar dan tepat kepada hukum syara'i yang 'amali (al mursyidu ila al mathlub). Artinya, dalil yang dapat menunjuk dan mengatur bagaimana melaksanakan sesuatu amalan yang syar'i dengan cara yang tepat dan benar baik secara qoth'i/pasti maupun zhanni/samar./ma yustadallu binnadzhori al shohihi fihi 'ala hukmin syar'iyi 'amali 'ala sabili al qath'i awi al dzhonni. Karenanya, sepakat para ulama bahwa dalil-dalil hukum dalam menggali, mengembangkan serta menetapkan hukum adalah: 1). Al-Qur'an, 2). as Sunnah, 3). Ijma', 4). Fatwa Sahabat 5). Qiyas. Dan selebihnya belum merupakan kesepakatan, yaitu; Ihtihsan, Mashalih Mursalah, Istishob, 'Urf, Saddu al dzar'i.

1. Al-Qur'an adalah kitab yang merupakan kumpulan firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan dinukilkan dengan jalan mutawatir dan dengan bahasa Arab.  Ke Araban Quran merupakan bagian dari Al-Qur'an. Karena itu terjemahannya tidak dinamakan Quran. Jika kita shalat dengan membaca terjemahannya, maka shalatnya tidak sah. Sebagaimana disebutkan bahwa  kehujjahan Al-Qur'an terletak pada kebenaran dan kepastian kandungannya/isinya yang sedikitpun tidak ada keraguan padanya/dzalikal kitabu la roiba fihi hudal lil muttaqiin. Q.S.2.A.2, maka Al-Qur'an merupakan sumber utama dalam pembinaan Hukum Islam. Akan tetapi dalam kajian Ushul Fiqih, untuk dapat memahami nash, apakah pengertian yang ditunjukkan oleh unsur-unsur lafadznya itu jelas, pasti atau tidak. Para ulama ushul menggunakan pendekatan apa yang dikenal dengan istilah qath'i dan dzhonni. (Bersambung)

Pengantar Ushul Fiqh

Tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah kecuali dengan ilmu ushul fiqh.” (Al-Amidi)
Definisi Ushul Fiqh
Para ulama ushul menjelaskan pengertian ushul fiqh dari dua sudut pandang. Pertama dari pengertian kata ushul dan
fiqh secara terpisah, kedua dari sudut pandang ushul fiqh sebagai disiplin ilmu tersendiri.
Ushul Fiqh ditinjau dari 2 kata yang membentuknya
Al-Ushul
Al-ushuul adalah bentuk jamak dari al-ashl yang secara etimologis berarti ma yubna ‘alaihi ghairuhu (dasar segala
sesuatu, pondasi, asas, atau akar).
Tidakkah kamu memperhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang
baik, ashluha (akarnya) teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. (Ibrahim: 24)
Sedangkan menurut istilah, kata al-ashl berarti dalil, misalnya: para ulama mengatakan: #5D G0' 'D-CE EF 'DC*'( "J)
C0'
(Dalil tentang hukum masalah ini ialah ayat sekian dalam Al-Qur’an).
Jadi Ushul Fiqh adalah dalil-dalil fiqh. Dalil-dalil yang dimaksud adalah dalil-dalil yang bersifat global atau kaidah umum,
sedangkan dalil-dalil rinci dibahas dalam ilmu fiqh.
Al-Fiqh 'DABG AJ 'DD:): 'D9DE ('D4J! H'DAGE DG
Al-fiqh menurut bahasa berarti pengetahuan dan pemahaman terhadap sesuatu.
Menurut istilah para ulama: 'DABG: 'D9DE ('D#-C'E 'D419J) 'D9EDJ) 'DEC*3( EF #/D*G' 'D*A5JDJ)
(ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terinci).
Penjelasan Definisi 'D-CE: %3F'/ #E1 %DI ".1 %J,'(' #H 3D('
Hukum adalah penisbatan sesuatu kepada yang lain atau penafian sesuatu dari yang lain. Misalnya: kita telah
menghukumi dunia bila kita mengatakan dunia ini fana, atau dunia ini tidak kekal, karena kita menisbatkan sifat fana
kepada dunia atau menafikan sifat kekal darinya.
Tetapi yang dimaksud dengan hukum dalam definisi fiqh adalah status perbuatan mukallaf (orang yang telah baligh dan
berakal sehat), apakah perbuatannya wajib, mandub (sunnah), haram, makruh, atau mubah. Atau apakah perbuatannya
itu sah, atau batal.
Ungkapan hukum-hukum syar’i menunjukkan bahwa hukum tersebut dinisbatkan kepada syara’ atau
diambil darinya sehingga hukum akal (logika), seperti: satu adalah separuh dari dua, atau semua lebih besar dari
sebagian, tidak termasuk dalam definisi, karena ia bukan hukum yang bersumber dari syariat. Begitu pula dengan
hukum-hukum indrawi, seperti api itu panas membakar, dan hukum-hukum lain yang tidak berdasarkan syara’.
Ilmu fiqh tidak mensyaratkan pengetahuan tentang seluruh hukum-hukum syar’i, begitu juga untuk menjadi faqih
(ahli fiqh), cukup baginya mengetahui sebagiannya saja asal ia memiliki kemampuan istinbath, yaitu kemampuan
mengeluarkan kesimpulan hukum dari teks-teks dalil melalui penelitian dan metode tertentu yang dibenarkan
syari’at.
Hukum-hukum syar’i dalam fiqh juga harus bersifat amaliyyah (praktis) atau terkait langsung dengan perbuatan
mukallaf, seperti ibadahnya, atau muamalahnya. Jadi menurut definisi ini hukum-hukum syar’i yang bersifat
i’tiqadiyyah (keyakinan) atau ilmu tentang yang ghaib seperti dzat Allah, sifat-sifat-Nya, dan hari akhir, bukan
termasuk ilmu fiqh, karena ia tidak berkaitan dengan tata cara beramal, dan dibahas dalam ilmu tauhid (aqidah).
Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah ini juga harus diperoleh dari dalil-dalil rinci melalui proses
penelitian mendalam terhadap dalil-dalil tersebut. Berarti ilmu Allah atau ilmu Rasul-Nya tentang hukum-hukum ini tidak
PIP PKS UK
http://www.pk-sejahtera.org.uk Menggunakan Joomla! Generated: 19 October, 2009, 07:27
termasuk dalam definisi, karena ilmu Allah berdiri sendiri tanpa penelitian, bahkan Dialah Pembuat hukum-hukum
tersebut, sedangkan ilmu Rasulullah saw diperoleh dari wahyu, bukan dari kajian dalil. Demikian pula pengetahuan
seseorang tentang hukum syar’i dengan mengikuti pendapat ulama, tidak termasuk ke dalam definisi ini, karena
pengetahuannya tidak didapat dari kajian dan penelitian yang ia lakukan terhadap dalil-dalil.
Sedangkan contoh dalil yang terinci adalah:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu
orang-orang yang beriman. (Al-Baqarah: 278).
Ayat ini adalah dalil rinci tentang haramnya riba berapa pun besarnya. Dinamakan rinci karena ia langsung berbicara
pada pokok masalah yang bersifat praktis.
Ushul Fiqh sebagai disiplin ilmu
Ushul Fiqh sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri didefinisikan oleh Al-Baidhawi, salah seorang ulama mazhab
Syafi’i dengan: E91A) /D'&D 'DABG %,E'D' HCJAJ) 'D'3*A'/) EFG' H-'D 'DE3*AJ/
(Memahami dalil-dalil fiqh secara global, bagaimana menggunakannya dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh
(bagaimana berijtihad), serta apa syarat-syarat seorang mujtahid).
Penjelasan Definisi
Contoh dalil yang bersifat global: dalil tentang sunnah sebagai hujjah (sumber hukum), dalil bahwa setiap perintah pada
dasarnya menunjukkan sebuah kewajiban, setiap larangan berarti haram, bahwa sebuah ayat dengan lafazh umum
berlaku untuk semua meskipun turunnya berkaitan dengan seseorang atau kasus tertentu, dan lain-lain.
Yang dimaksud dengan menggunakan dalil dengan benar misalnya: mengetahui mana hadits yang shahih mana yang
tidak, mana dalil yang berbicara secara umum tentang suatu masalah dan mana yang menjelaskan maksudnya lebih
rinci, mana ayat/hadits yang mengandung makna hakiki dan mana yang bermakna kiasan, bagaimana cara
menganalogikan (mengkiaskan) suatu masalah yang belum diketahui hukumnya dengan masalah lain yang sudah ada
dalil dan hukumnya, dan seterusnya.
Kemudian dibahas pula dalam ilmu ushul apa syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid untuk dapat
mengambil kesimpulan sebuah hukum dengan benar dari dalil-dalil Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah saw.
Sedangkan ulama mazhab Hanafi, Maliki dan Hambali mendefinisikan ushul fiqh dengan: 'D9DE ('DBH'9/ 'DCDJ) 'D*J
J*H5D (G' %DI '3*F('7 'D#-C'E 'D419J) EF #/D*G' 'D*A5JDJ)
(Ilmu tentang kaidah-kaidah umum yang dapat digunakan untuk melakukan istinbath hukum-hukum syar’i dari
dalil-dalilnya yang terinci).
Penjelasan Definisi
Kaidah adalah patokan umum yang diberlakukan atas setiap bagian yang ada di bawahnya.
Contoh kaidah umum: 'D#5D AJ 'D#E1 DDH,H(
(Pada dasarnya setiap kalimat yang berbentuk perintah mengandung konsekuensi kewajiban) kecuali jika ada dalil lain
yang menjelaskan maksud lain dari kalimat perintah tersebut. Misalnya perintah Allah swt dalam surat Al-Baqarah ayat
43: ((H"*H' 'D2C')))
(tunaikanlah zakat) menunjukkan kewajiban zakat karena setiap perintah pada dasarnya menunjukkan kewajiban dan
tidak ada ayat lain ataupun hadits yang menyatakan hukum lain tentang zakat harta. Dalam contoh ini ayat tersebut
adalah dalil rinci, sedangkan kaidah ushul di atas adalah dalil yang bersifat global yang dapat diberlakukan atas dalil-dalil
rinci lain yang sejenis.
Dapat disimpulkan bahwa ilmu ushul fiqh adalah ilmu yang mempelajari sumber-sumber hukum Islam, dalil-dalil yang
shahih yang menunjukkan kepada kita hukum Allah swt, apa syarat-syarat ijtihad, dan bagaimana metode berijtihad
yang benar sesuai batasan-batasan syariat.
Cakupan Ushul Fiqh
Setiap disiplin ilmu pasti memiliki bahasan tertentu yang membedakannya dengan disiplin ilmu lain, demikian pula ushul
fiqh, ia memiliki bahasan tertentu yang dapat kita ringkas menjadi 5 (lima) bagian utama:
PIP PKS UK
http://www.pk-sejahtera.org.uk Menggunakan Joomla! Generated: 19 October, 2009, 07:27
- Kajian tentang adillah syar’iyyah (sumber-sumber hukum Islam) yang asasi (Al-Qur’an dan Sunnah)
maupun turunan (Ijma’, Qiyas, Maslahat Mursalah, dan lain-lain).
- Hukum-hukum syar’i dan jenis-jenisnya, siapa saja yang mendapat beban kewajiban beribadah kepada Allah
dan apa syarat-syaratnya, apa karakter beban tersebut sehingga ia layak menjadi beban yang membuktikan keadilan
dan rahmat Allah.
- Kajian bahasa Arab yang membahas bagaimana seorang mujtahid memahami lafaz kata, teks, makna tersurat, atau
makna tersirat dari ayat Al-Qur’an atau Hadits Rasulullah saw, bahwa sebuah ayat atau hadits dapat kita pahami
maksudnya dengan benar jika kita memahami hubungannya dengan ayat atau hadits lain.
- Metode yang benar dalam menyikapi dalil-dalil yang tampak seolah-olah saling bertentangan, dan bagaimana
solusinya.
- Ijtihad, syarat-syarat dan sifat-sifat mujtahid.
Tujuan Ushul Fiqh :'J) #H +E1) 9DE 'D#5HD: 'DH5HD %DI E91A) 'D#-C'E 'D419J) ('D'3*F('7
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa ghayah (tujuan) dan tsamarah (buah) ilmu ushul adalah agar dapat
melakukan istinbath hukum-hukum syar’i dari dalil-dalil syar’i secara langsung.
Di samping itu ada manfaat lain dari ilmu ushul, di antaranya:
- Mengetahui apa dan bagaimana manhaj (metode) yang ditempuh oleh seorang mujtahid dalam beristinbath.
- Mengetahui sebab-sebab ikhtilaf di antara para ulama.
- Menumbuhkan rasa hormat dan adab terhadap para ulama.
- Membentuk dan mengembangkan kemampuan berpikir logis dan kemampuan di bidang fiqh secara benar.
Sandaran Ushul Fiqh1. Aqidah/Tauhid, karena keyakinan terhadap kebenaran Al-Qur’an dan Sunnah serta
kedudukannya sebagai sumber hukum/dalil syar’i bersumber dari pengenalan dan keyakinan terhadap Allah, sifatsifat
dan perbuatan-Nya yang suci, juga bersumber dari pengetahuan dan keyakinan terhadap kebenaran Muhammad
Rasulullah saw, dan semua itu dibahas dalam ilmu tauhid.
3. Bahasa Arab, karena Al-Quran dan Sunnah berbahasa Arab, maka untuk memahami maksud setiap kata atau
kalimat di dalam Al-Quran dan Sunnah mutlak diperlukan pemahaman Bahasa Arab. Misalnya sebagian ulama
mengatakan bahwa: 'D#E1 JB*6J 'DAH1
(Setiap perintah mengharuskan pelaksanaan secara langsung tanpa ditunda). Dalil kaidah ini adalah bahasa, karena
para ahli bahasa mengatakan: jika seorang majikan berkata kepada pelayannya: “Ambilkan saya air
minum!” lalu pelayan itu menunda mengambilnya, maka ia pantas dicela.
5. Al-Quran dan Sunnah, misalnya kaidah ushul: 'D#5D AJ 'D#E1 DDH,H(
(setiap perintah pada dasarnya berarti kewajiban) dalilnya adalah:
maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul itu merasa takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab
yang pedih. (An-Nur: 63)
7. Akal, misalnya kaidah ushul: %0' '.*DA E,*G/'F AJ -CE A#-/GE' E.7&
(Jika dua orang mujtahid berseberangan dalam menghukumi suatu masalah, maka salah satunya pasti salah) dalilnya
adalah logika, karena akal menyatakan bahwa kebenaran dua hal yang bertentangan adalah sebuah kemustahilan.
Hukum Mempelajari Ushul Fiqh
Al-Amidi dalam bukunya Al-Ihkam mengatakan: “Tidak ada cara untuk mengetahui hukum Allah swt kecuali
dengan ilmu ushul ini. Karena seorang mukallaf adalah awam atau bukan awam (’alim). Jika ia awam maka wajib
baginya untuk bertanya:
Maka tanyakanlah kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui. (Al-Anbiya: 7)
Dan pertanyaan itu pasti bermuara kepada ulama, karena tidak boleh terjadi siklus. Jika mukallaf seorang ‘alim,
maka ia tidak bisa mengetahui hukum Allah kecuali dengan jalan tertentu yang dibenarkan, sebab tidak boleh
memutuskan hukum dengan hawa nafsu, dan jalan itu adalah ushul fiqh. Tetapi mengetahui dalil setiap hukum tidak
diwajibkan atas semua orang, karena telah dibuka pintu untuk meminta fatwa. Hal ini menunjukkan bahwa menguasai
ilmu ushul bukanlah fardhu ‘ain, tetapi fardhu kifayah, wallahu a’lam.”
Perbedaan Ushul Fiqh Dengan Fiqh
Pembahasan ilmu fiqh berkisar tentang hukum-hukum syar’i yang langsung berkaitan dengan amaliyah seorang
hamba seperti ibadahnya, muamalahnya,…, apakah hukumnya wajib, sunnah, makruh, haram, ataukah mubah
PIP PKS UK
http://www.pk-sejahtera.org.uk Menggunakan Joomla! Generated: 19 October, 2009, 07:27
berdasarkan dalil-dalil yang rinci.
Sedangkan ushul fiqh berkisar tentang penjelasan metode seorang mujtahid dalam menyimpulkan hukum-hukum
syar’i dari dalil-dalil yang bersifat global, apa karakteristik dan konsekuensi dari setiap dalil, mana dalil yang benar
dan kuat dan mana dalil yang lemah, siapa orang yang mampu berijtihad, dan apa syarat-syaratnya.
Perumpamaan ushul fiqh dibandingkan dengan fiqh seperti posisi ilmu nahwu terhadap kemampuan bicara dan menulis
dalam bahasa Arab, ilmu nahwu adalah kaidah yang menjaga lisan dan tulisan seseorang dari kesalahan berbahasa,
sebagaimana ilmu ushul fiqh menjaga seorang ulama/mujtahid dari kesalahan dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh.
[Sumber: www.dakwatuna.com]
PIP PKS UK
http://www.pk-sejahtera.org.uk Menggunakan Joomla! Generated: 19 October, 2009, 07:27

Sejarah Ushul Fiqih

Diambil dari Terjemahan Kitab Syakhsiyah Islamiyyah Jilid I
Karya Taqiyuddin an-Nabhaniy
Imam Syafi’i dianggap sebagai orang yang memberi batasan ushul
tentang istinbath dan menyusun sistematikanya dengan kaidah-kaidah umum
yang bersifat menyeluruh. Beliau telah meletakkan ilmu ushul fiqih, meski
sesudah beliau banyak sekali orang yang datang dan lebih banyak lagi
pengetahuan tentang ushul fiqh termasuk definisi-definisinya.
Para fuqaha’ sebelum Syafi’i berijtihad tanpa ada batasan-batasan
tertulis untuk istinbath, meskipun demikian mereka menyandarkan
pemahamannya terhadap makna-makna syara’, arah dan tujuan hukum, hal-hal
yang diisyaratkan oleh nash-nash syara’ serta yang ditunjukkan oleh maksudmaksudnya.
Mereka adalah para fuqaha yang berpengalaman mempelajari
syariat dan pengalamannya sangat dalam dalam bahasa Arab. Mereka
mengetahui berbagai makna, mengetahui maksud dan tujuan-tujuannya, tanpa
harus ada batasan-batasan tertulis yang dibukukan.
Memang benar para fuqaha’ sebelum Syafi’i yang berasal dari kalangan
para sahabat, tabi’in maupun orang-orang sesudah mereka telah membicarakan
ushul fiqih. Diantara mereka ada yang mengungkapkan dalilnya, ada pula yang
tidak menyertakannya.
Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib ra berbicara mengenai mutlaq dan
muqayad, khas dan’aam, nasakh dan mansukh. Hanya saja hal itu tidak
diungkapkan dalam bentuk batasan-batasan tertulis. Tidak ada para fuqaha’
yang berbicara mengenai sebagian ushul fiqih berupa kaidah-kaidah umum
yang menyeluruh, yang dapat dikembalikan kepadanya pengetahuan dalil-dalil
syara’ berikut tentang tata cara (metode) pertentangan (dalil atau ta’arudl) dan
pentarjihannya.
Sampai datangnya Imam Syafi’i ilmu ushul fiqh telah diistinbath.
Kemudian dibuat peraturan yang menyeluruh yang dapat dijadikan sebagai
rujukan untuk mengetahui tingkatan dalil-dalil syara’. Imam Syafi’i dikenal luas
telah meletakkan ilmu ushul dalam kitab beliau yang diberi nama dengan ar-
Risalah.
Pada hakekatnya ar-Risalah mengandung sebagian dari ilmu ushul yang
diletakkan oleh Imam Syafi’i. Orang yang selalu merujuk kepada kitab-kitab
Imam Syafi’i akan menemukan bahwa ar-Risalah mencakup berbagai
pembahasan dari ilmu ushul fiqh tetapi tidak mencakup seluruh pembahasan
Imam Syafi’I mengenai ushul.

Imam Syafi’i memiliki kitab-kitab lain yang mencakup berbagai
pembahasan, seperti kitab Ibthalu al-Istihsan dan kitab Jamma‘u al-‘Ilmi,
bahkan kitab al-Umm terdapat di sela-sela pembahasan ilmu ushul. Di dalam
kitab tersebut disebutkan kaidah-kaidah kulliyat (menyeluruh) di sela-sela
hukum yang bersifat cabang.
Yang mendorong Syafi’i untuk menyusun ilmu ushul adalah pada masa
beliau fiqih Islam berkembang dengan pesat. Dan di negeri-negeri Islam mulai
muncul kumpulan-kumpulan fiqih para mujtahid dan mulai terbentuknya
mazhab-mazhab. Perdebatan di kalangan para mujtahid dan pengikut mazhabmazhab
mengambil peran aspek-aspek yang beragam dan berbeda-bedanya
dalam fiqih dan dalil. Maka beliau memasuki kancah perdebatan bersama-sama
dengan orang-orang yang menyelaminya.
Perdebatan-perdebatan inilah yang menunjukannya kepada pemikiran
tentang kaidah-kaidah yang menyeluruh dan parameter akurat yang menjadi
dasar pembahasan dan istinbath. Kaidah-kaidah ini dikumpulkan dalam satu
sistematika ilmu, yaitu ilmu ushul fiqh. Yang menarik dalam ushul Syafi’i adalah
bahwa beliau berjalan dengan pembahasan yang bersifat ushul dan bersifat
tasyri’, bukan dengan cara yang bersifat manthiq. Sebab, perkara ini amat
berbahaya dalam pembahasan, bahkan berbahaya bagi umat yang bangkit dan
berjalan dengan (metode) manthiq, terlebih lagi dalam fiqih dan ushul.
Imam Syafi’i sangat menjauhi cara-cara manthiq, dan selalu terikat
dengan cara yang bersifat tasyri’. Beliau tidak berputar pada gambaran dan
pengandaian yang bersifat teoritis, melainkan mengukuhkan perkara-perkara
yang ada faktanya. Artinya, mengambil nash-nash syara’ dan berhenti pada
batasan-batasan nash serta pada batas yang ditunjukkan oleh nash dan
disaksikan oleh manusia.
Pada bagian nasikh dan mansukh beliau menetapkan kaidah-kaidah
nasakh diantara masalah-masalah yang terbukti di dalamnya ada nasakh -
menurut beliau- dengan penunjukkan terhadap nasakh yang terdapat dalam
ayat itu sendiri atau hadits, atau dengan hadits-hadits yang menujukkan
kepada nasakh, dan berasal dari Rasulullah saw, dan berita-berita dan
keputusan yang ada dan berasal dari sahabat Rasulullah saw. Hal ini tidak
seperti yang ditempuh oleh kebanyakan orang yang datang sesudah beliau,
dimana jika mereka melihat pertentangan antara dua ayat atau dua hadits lalu
mereka berpindah pada perkataan bahwa salah satu diantara keduanya sebagai
penasakh terhadap yang lain. Akibatnya mereka terjatuh kedalam kesalahan
yang fatal.
Beliau datang dengan suatu kaidah yang pendahuluannya jauh dari
manthiq. Beliau memperlihatkan kepada kita sumber-sumber yang diambilnya.
Kadangkala dari hadits-hadits Rasulullah saw atau dari fatwa para sahabat.
Orientasi beliau dalam mengeluarkan kaidah-kaidah yang akurat bersifat

praktis, berpegang kepada fakta serta dalil-dalil dan kesesuaiannya terhadap
fakta-fakta yang dapat diindera. Keistimewaan yang paling menonjol dalam
ushul Syafi’i adalah kaidah-kaidahnya yang mutlak untuk istinbath tanpa
melihat cara tertentu, bahkan hal itu sesuai untuk semua cara bagaimanapun
perbedaannya, ia merupakan parameter untuk mengetahui benar atau salahnya
pendapat. Juga meletakkan peraturan yang menyeluruh yang harus
diperhatikan ketika melakukan istinbath hukum baru, bagaimanapun seseorang
membuat cara bagi dirinya, untuk menimbang berbagai pendapat dan
keterikatannya dengan peraturan yang menyeluruh ketika mengistinbath.
Ushul Syafi’i bukan ushul untuk mazhabnya sekalipun beliau terkait
dengannya, juga tidak ditulis untuk membela mazhabnya dan menjelaskan
persepsinya. Ia merupakan kaidah umum yang menyeluruh untuk istinbath.
Yang mendorongnya bukanlah dorongan yang bersifat mazhab, melainkan
keinginannya untuk menyusun uslub-uslub ijtihad, dan membuat batasanbatasan
dan tingkatan bagi para mujtahid.
Motivasi beliau yang lurus dan pemahamannya yang shahih dalam
meletakkan ilmu ushul fiqh memberikan pengaruh terhadap orang yang datang
sesudah Syafi’i, baik dari kalangan mujtahid maupun ulama, baik mereka yang
bertentangan dengannya ataupun yang mendukung pendapat-pendapat beliau
tanpa kecuali. Bahkan meski berbeda-beda motivasinya, mereka tetap berjalan
pada manhaj yang dilakukan oleh Imam Syafi’i dalam penyusunan kaidahkaidah
yang bersifat menyeluruh dan keterikatannya dalam fiqih dan istinbath,
sesuai dengan peraturan yang bersifat menyeluruh dan kaidah-kaidah yang
bersifat umum.
Setelah masa itu fiqih berdiri diatas ushul yang baku, bukan berdasarkan
kepada (fatwa-fatwa dan keputusan) kelompok sebagaimana yang terjadi
sebelumnya. Meskipun para ulama menggunakan cara yang sesuai dengan
jejak Syafi’i dari sisi ushul fiqhnya, akan tetapi perolehan (hukum) mereka
berbeda dengan apa yang diperoleh oleh Imam Syarfi’i, karena perbedaan
orientasi fiqih mereka. Diantara mereka ada yang mengikuti beliau dalam
pendapat-pendapat Beliau, kemudian mulai menjelaskan dan mulai melebar
hingga keluar dari manhajnya.
Contohnya adalah para pengikut mazhab Imam Syafi’i itu sendiri.
Diantara mereka ada yang mengambil sebagian besar apa yang dibawa oleh
Imam Syafi’i dan berbeda dalam sebagian rincian ushulnya walaupun tidak
keseluruhannya, karena tidak berbeda dari sisi susunannya, kerangka dan caracara
dengan ushul Imam Syafi’i. Misalnya al-Hanafiyah dan orang-orang yang
mengikuti manhaj mereka.
Diantara mereka ada juga yang bertentangan dengan ushul Imam
Syafi’i, misalnya adz-Dzahiriyah dan Syi’ah. Diantara orang yang mengikuti
Imam Syafi’i dalam pen-dapat-pendapatnya adalah al-Hanabilah. Mereka telah

mengambil ushul Imam Syafi’i, sekalipun mereka mengatakan bahwa Ijma’
adalah Ijma’ para sahabat saja. Begitu juga al-Malikiyah yang datang setelah
Imam Syafi’i, cara mereka sama seperti kebanyakan yang terdapat dalam ushul
Syafi’i, sekalipun mereka menjadikan perbuatan penduduk kota Madinah
sebagai hujjah, dan mereka bertentangan dengan Syafi’i dalam sebagian
rinciannya.
Adapun orang yang mengikuti manhajnya dan memeluk pendapatnya,
mereka adalah pengikut mazhabnya yang aktif dalam ilmu ushul fiqh. Mereka
banyak menyusun ilmu tersebut. Kitab-kitab telah disusun berdasarkan cara
Syafi’i dalam ushul fiqh dan senantiasa dijadikan pegangan dan pijakan ilmu
ushul fiqh. Yang terbesar dan yang diketahui pengarangnya dari generasi
terdahulu ada tiga kitab.
Pertama kitab al-Mu’tamad karangan Abu al-Husain Muhammad bin al-
Bashri yang wafat tahun 413 H. Yang kedua adalah kitab al-Burhan karangan
Abdul Malik bin Abdullah al-Juwaini yang terkenal dengan sebutan Imam al-
Haramain, wafat pada tahun 478 H. Dan yang ketiga kitab al-Mustashfa
karangan Abu Hamid al-Ghazali yang wafat pada tahun 478 H. Setelah mereka
datang Abu al-Husain Ali yang terkenal dengan sebutan al-Amidi. Beliau
mengumpulkan kitab yang tiga ini dan menambahkannya dalam kitab yang
dinamainya al-Ihkam fi Ushuli al-Ahkam, merupakan yang terbesar yang
disusun dalam ushul fiqh.
Adapun orang yang mengambil sebagian besar yang dibawa oleh Imam
Syafi’i dan bertentangan dalam sebagian rinciannya, mereka adalah al-
Hanafiyah. Mereka sepakat dengan cara istinbath menurut ushul Syafi’i akan
tetapi mereka mengarah dalam ushul fiqh kepada visi yang mendahulukan furu’
(perkara cabang). Mereka mempelajari kaidah ushul agar dapat mendukung
furu’, sehingga menjadikan furu’ itu sebagai asal, dan kaidah-kaidah umum
dibangun diatasnya dan dijadikan sebagai penopangnya.
Kemungkinan yang membawa mereka kepada visi ini adalah
pembahasannya terhadap ushul fiqh dalam rangka mendukung mazhab
mereka, bukan untuk mewujudkan kaidah-kaidah tempat mazhab mereka
mengistinbath. Itu disebabkan karena Abu Hanifah telah mendahului Syafi’i,
yang meninggal pada tahun dilahirkannya Imam Syafi’i, sehingga istinbathnya
tidak sesuai dengan kaidah umum yang bersifat menyeluruh.
Setelah beliau juga datang murid-muridnya Abu Yusuf dan Muhammad,
begitu juga yang lainnya. Mereka tidak memperhatikan sistematika ushul fiqih.
Lalu setelah itu datang para ulama mazhab Hanafi yang mengarah kepada
istinbath kaidah-kaidah yang melayani cabang mazhab Hanafi. Kaidah-kaidah
ini datang belakangan dari cabang-cabang, bukan lebih dahulu. Dengan
demikian ushul al-Hanafiyah secara keseluruhannya keluar dari ushul as-Syafi’i.

Hal-hal yang bertentangan dengan asy –Syafi’iyah seperti al-‘aam adalah
qath’i sebagaimana al-khash, tidak bernilainya mafhum syarat dan sifat, serta
tidak dilakukannya tarjih disebabkan banyaknya para perawi, dan lain-lain. Itu
adalah masalah-masalah yang bersifat rinci bukan kaidah-kaidah yang
menyeluruh. Oleh karena itu ushul al-Hanafiyah dan ushul asy-Syafi’iyah dapat
dianggap ushul yang satu untuk fiqih. Orientasinya (al-Hanafiyah) terhadap
furu’ dan perbedaan sebagian dari rinciannya tidak dianggap sebagai ushul
yang lain, melainkan tetap satu ushul secara umum dan dalam kaidahkaidahnya.
Hampir tidak ditemukan perbedaan antara ushul asy-Syafi’iyah dan
kitab-kitab mengenai ushul al-Hanafiyah. Seluruhnya adalah pelajaran ushul
fiqih. Diantara kitab-kitab ushul yang masyhur dikalangan al-Hanafiyah adalah
ushul al-Bazdawi yang telah disusun oleh Fakhru al-Islam Ali bin Muhammad al-
Bazdawi yang wafat pada tahun 483 H.
Orang yang bertentangan dengan ushul Imam Syafi’i, mereka adalah
adz-Dzahiriyah dan Syi’ah. Mereka bertentangan dengan ushul Syafi’i pada
sebagian rukun-rukunnya, bukan hanya rinciannya saja. Adz-Dzahiriyah
menolak qiyas secara keseluruhan. Mereka tidak terikat kecuali berdasarkan
dzahir nash-nash saja. Sampai-sampai apa yang dinamai dengan qiyas jalliy
(qiyas menurut dzahir ayat) pun mereka tidak mau menggolongkannya sebagai
bagian dari qiyas. Mereka lebih menganggapnya sebagai nash. Yang dijadikan
patokan adalah dzahirnya nash, bukan selainnya. Imam mazhab ini adalah Abu
Sulaiman Daud bin Khallaf al-Ashfahani yang meninggal pada tahun 270 H.
Pada awalnya beliau termasuk asy-Syafi’iyah dan menerima fiqih dari
pengikut-pengikut Syafi’i. Kemudian beliau meninggalkan mazhab Syafi’i, seraya
memilih sendiri mazhab khusus. Beliau tidak terikat dalam mazhab tersebut
kecuali hanya terikat pada nash saja, sehingga dinamakanlah dengan mazhab
adz-Dzahiri. Diantara mereka adalah Imam Ibnu Hazm. Sebagian orang
mengeksposenya seraya memberikan gambaran yang bersinar-sinar tentang
beliau sehingga kitab-kitab beliau diterima meskipun tidak ada kitab-kitab
fiqihnya dan ushul yang lain ditinjau dari sisi pembahasan fiqih dan
pengambilan dalil.
Adapun Syi’ah, bertentangan dengan ushul Syafi’i secara paradoks.
Mereka telah menjadikan (menganggap) seluruh perkataan Imam (mereka)
sebagai dalil syara’, sama seperti al-Kitab dan Sunnah. Paling tidak perkataanperkataan
para Imam dianggap sebagai hujjah setelah hujjah al-Kitab dan
Sunnah. Mereka menjadikan perkataan para Imam sebagai takhsish terhadap
Sunnah.
Mereka mengatakan: “Sesungguhnya hikmah tasyri’ itu telah
menghendaki adanya keterangan dan rahasia tentang keuniversalan dari
hukum-hukum. Akan tetapi Nabi saw membiarkannya (menitipkannya) kepada
orang yang diberi wasiat (wewenang). Setiap orang yang berwasiat
menjanjikan wasiat tersebut kepada orang lain untuk menyebarkannya pada

waktu yang sesuai berdasarkan hikmah, dari yang ‘aam dan mukhashshish atau
mutlaq dan muqayad, atau mujmal dan mubayan, dan lain-lain yang
semisalnya. Kadangkala Nabi saw menyebutkan yang ‘aam dan menyebutkan
yang mukhashshishnya dalam kehidupan (menjelang wafatnya). Kadang juga
beliau tidak menyebutkannya, melainkan dilaksanakan oleh orang yang telah
diberi wasiat.”
Syi’ah Imamiyah meletakkan Imam-imam mereka sejajar dengan
Sunnah. Dan ijtihad menurut mereka terkait dengan mazhab, sehingga tidak
boleh seorang mujtahid bertentangan pendapat-pendapat mazhabnya. Artinya
seorang mujtahid tidak boleh berijtihad dengan sesuatu yang bertentangan
dengan perkataan-perkataan seorang Imam yang shadiq (benar). Dan mereka
menolak hadits kecuali yang melalui jalur para Imam mereka. Mereka juga tidak
mengambil qiyas. Imam-imam mereka sepakat sebagaimana yang mereka
riwayatkan dalam kitab-kitabnya bahwa syariat itu apabila diqiyaskan akan
menghancurkan atau menghapuskan agama.
Itulah perjalanan ulama kaum Muslim dalam ilmu ushul fiqih setelah
Imam Syafi’i, dilihat dari segi pertentangan maupun kesamaannya. Adapun dari
sisi ilmu ushul fiqih itu sendiri pembahasannya makin meluas setelah (periode)
Imam Syafi’i, banyak para pensyarah yang menyusun tentang ilmu ushul fiqih
ini. Yang mengherankan justru pada masa setelah Imam Syafi’i ijtihad
mengalami kelangkaan dan para mujtahid makin sedikit. Bahkan pada masa
sesudahnya lagi pintu ijtihad ditutup.
Meskipun demikian ilmu ushul fiqih tumbuh dan berkembang, banyak
aktivitas tahqiq pada kaidah-kaidahnya dan makin bercabang-cabangnya
permasalahan. Sayangnya (pembahasan) itu dari sisi teoritas saja, bukan dari
sisi praktek. Oleh karena itu tidak berpengaruh dalam mewujudkan para
mujtahid, bahkan tidak berpengaruh dalam menepis pemikiran tertutupnya
pintu ijtihad. Kemungkinan penyebabnya adalah bahwa ushul fiqih pada masamasa
terakhir menempuh cara yang bersifat teori saja, sehingga berkembang
pembahasan yang bersifat teori yang dimasukkan kedalamnya pembahasanpembahasan
yang tidak ada hubungannya dengan ushul fiqih. Perhatian para
peneliti terfokus kepada tahqiq berbagai kaidah, perbaikan-perbaikannya
(tanqih) dan penguat kaidah-kaidah dengan dalil-dalil serta memilih dalil-dalil
yang lebih kuat tanpa memperhatikan lagi apakah faktanya ada atau tidak.
Terdapat banyak pengandaian yang bersifat teori. Mereka meneliti
tentang ad-dilalah (penunjukan) dan membaginya seperti pembagian ulama
manthiq. Mereka membangkitkan pembahasan-pembahasan yang tidak ada
hubungan dengan ushul fiqih, seperti pembahasan hasan (baik) dan qabih
(jelek), apakah keduanya termasuk dalam pembahasan yang bersifat akal atau
syara’? Pembahasan tentang rasa syukur terhadap yang memberi nikmat itu
wajib dengan cara syara’ atau akal?


Bahkan mereka membahas topik yang merupakan bagian dari ilmu
kalam, bukan pembahasan sebagian dari ilmu ushul fiqih. Seperti pembahasan
tentang ma’shumnya para Nabi dan bolehnya terjadi kesalahan dan kealpaan
bagi para Nabi dalam masalah-masalah risalah. Mereka juga membahas topik
yang berhubungan dengan bahasa Arab bukan dengan ushul fiqih. Mereka
membahas tentang ashlu al-lughat (asal bahasa) dan membahas tentang hurufhuruf
dan nama-nama. Dengan demikian mereka telah membekukan ilmu ushul
fiqih, dan merubahnya dari aspek yang bersifat tasyri’ yang melahirkan para
mujtahid dan menyuburkan fiqih kepada pembahasan teori yang bersifat filsafat
orang yang alim tetapi tidak mampu mengistinbath hukum-hukum, yang
termudah sekalipun. Malahan manfaatnya hampir hilang dan hampir tidak
memiliki pengaruh dalam tasyri’ dan istinbath.
Dikaitkannya ilmu ushul fiqih dengan istinbath hukum dan
pengembangan aspek tasyri’nya adalah hal penting sebagaimana pentingnya
ilmu nahwu dan balaghah terhadap bahasa Arab. Oleh karena itu seluruh
perhatian harus dikerahkan dalam mempelajari ilmu ushul fiqih, dan seluruh
perhatian harus dipusatkan dalam mempelajari ilmu ushul fiqih dengan topiktopik
pelajaran yang bersifat riil, bukan pelajaran yang bersifat teoritis.
Jadi, cukuplah dengan pembahasan-pembahasan yang berhubungan
dengan istinbath dan membahasnya sesuai dengan dalil-dalil yang
menunjukkannya serta fakta-fakta yang sesuai dengan madlulnya sehingga
mampu mencetak para mujtahid dan menghasilkan kekayaan tasyri’ guna
menyelesaikan masalah-masalah baru yang dihadapinya setiap hari di dunia
Islam maupun di seluruh penjuru dunia.

Minggu, 24 Oktober 2010

Kitab Shalat Qashar



Bab Ke-1: Keterangan-Keterangan Perihal Mengqashar Shalat dan Berapa Jarak Jauhnya Boleh Mengqashar Shalat
 
564. Ibnu Abbas r.a. berkata, "Nabi menetap (di Mekah-5/95) selama sembilan belas hari dengan mengqashar (dalam satu riwayat: shalat dua rakaat). Oleh sebab itu, jika kami bepergian selama sembilan belas hari,[1] kami mengerjakan shalat qashar saja. Tetapi, jika lebih dari waktu itu, maka kami menyempurnakan shalat kami."
 
565. Anas r.a. berkata, "Kami keluar bersama Nabi dari Madinah ke Mekah. Maka, beliau shalat dua rakaat dua rakaat[2] sehingga kami pulang ke Madinah." Aku (perawi) bertanya (kepada Anas), "Anda tinggal di Mekah berapa lama?" Ia menjawab, "Kami tinggal di sana selama sepuluh hari (dengan mengqashar shalat 5/95)."


Bab Ke-2: Shalat di Mina
 
566. Abdullah bin Umar berkata, "Saya shalat dua rakaat di Mina bersama Nabi, Abu Bakar, Umar, dan Utsman pada permulaan pemerintahannya (dalam satu riwayat: kekhalifahannya 2/173), kemudian ia menyempurnakannya (empat rakaat)."

567. Haritsah bin Wahbin berkata, "Nabi shalat dua rakaat bersama kami (sedangkan kami adalah paling banyak bertempat di sana, dan 2/173) tunduk mengikuti apa yang di Mina."

568. Abdur Rahman bin Yazid berkata, "Utsman bin Affan r.a. pernah shalat bersama kami di Mina empat rakaat. Kemudian hal itu diberitakan kepada Abdullah bin Mas'ud, lalu ia mengucapkan istirja' (Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'uun). Kemudian ia berkata, 'Saya shalat dua rakaat bersama Rasulullah di Mina, saya shalat dua rakaat bersama Abu Bakar ash-Shiddiq di Mina, dan saya shalat dua rakaat bersama Umar ibnul-Khaththab di Mina, (kemudian kamu bersimpang jalan 2/173). Maka, betapa beruntungnya aku, dari empat empat rakaat menjadi dua rakaat yang diterima."


Bab Ke-3: Berapa Lama Nabi Bermukim dalam Hajinya?
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya bagian dari hadits Ibnu Abbas yang tersebut pada '25 AL-HAJJ/23-BAB'.")


Bab Ke-4: Berapa Jauhnya Jarak Bepergian untuk Dapat Mengqashar Shalat?

Nabi saw. menyebut bepergian selama sehari semalam sebagai safar.[3]
 
Ibnu Umar dan Ibnu Abbas r.a. mengqashar shalat dan berbuka puasa dalam bepergian sejauh empat burud, yakni enam belas farsakh.[4]
 
569. Ibnu Umar mengatakan bahwa Nabi saw. bersabda, "Janganlah seorang wanita bepergian sampai tiga hari, melainkan disertai oleh mahramnya."
 
570. Abu Hurairah r.a. berkata, "Nabi bersabda, 'Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk bepergian perjalanan sehari semalam tanpa disertai mahram.'"[5]
 

Bab Ke-5: Mengqashar Shalat Apabila Telah Keluar dari Tempat Tinggalnya
 
Ali r.a. keluar dari rumah dan menqashar shalat, padahal dia masih dapat melihat rumah-rumah (di kampung). Maka ketika pulang, dikatakan kepadanya, "Ini kan kota Kufah?"[6] Jawabnya, 'Tidak, sehingga kita memasukinya.'"[7]
 
571. Anas r.a. berkata, "Aku shalat Zhuhur bersama Nabi di Madinah empat rakaat dan di Dzulhulaifah dua rakaat"

572. Aisyah r.a. berkata, "Shalat itu pada pertama kalinya difardhukan adalah dua rakaat. Kemudian untuk shalat pada waktu bepergian ditetapkan apa adanya (yakni dua rakaat). Sedangkan, untuk shalat yang tidak sedang bepergian dijadikan sempurna." Zuhri berkata, "Aku bertanya kepada 'Urwah, 'Mengapa Aisyah menyempurnakan shalatnya (yakni pada waktu bepergian tetap mengerjakan empat rakaat)?'" Urwah berkata, 'Beliau itu mentakwilkan sebagaimana halnya Utsman juga mentakwilkannya.'"[8]
 

Bab Ke-6: Shalat Magrib Tiga Rakaat dalam Bepergian
 
573. Salim dari Abdullah bin Umar r.a. berkata, "Saya melihat Nabi apabila tergesa-gesa hendak bepergian, beliau akhirkan shalat magrib, sehingga beliau jama' dengan Isya." Salim berkata, "Abdullah mengerjakan begitu apabila tergesa-gesa dalam bepergian."

Al-Laits menambahkan[9] bahwa Salim berkata, "Ibnu Umar r.a. pernah menjama' antara magrib dan isya di Muzdalifah."[10]
 
Salim berkata, "Ibnu Umar mengakhirkan shalat magrib (di jalan menuju Mekah 2/205), dan ia dimintai tolong atas istrinya Shafiyah binti Abi Ubaid. (Dan dalam satu riwayat: sampai informasi kepadanya tentang Shafiyah bin Abi Ubaid bahwa ia sakit keras, lalu Ibnu Umar segera berjalan), maka aku berkata kepadanya, 'Shalatlah.' Ia menjawab, 'Berangkatlah.' Aku berkata lagi, 'Shalatlah.' Ia menjawab, 'Berangkatlah.' Kemudian ia berangkat hingga mencapai dua atau tiga mil, lantas dia turun sesudah tenggelamnya mega merah. Lalu, mengerjakan shalat magrib dan isya dengan jama'. Kemudian berkata, 'Demikianlah aku melihat Rasulullah apabila tergesa-gesa dalam bepergian.' Abdullah berkata, 'Saya melihat Nabi apabila tergesa-gesa (dalam bepergian 2/39), beliau mengakhirkan shalat magrib. Kemudian beliau shalat tiga rakaat, lalu salam. Beliau diam sejenak sampai beliau tunaikan shalat isya dua rakaat, kemudian salam. Beliau tidak melakukan shalat sunnah di antara keduanya dan tidak pula sesudah shalat isya itu, sehingga beliau bangun di tengah malam.'"


Bab Ke-7: Shalat Sunnah di Atas Kendaraan. Ke Arah Mana Menghadapnya Kendaraan Itu, ke Arah Itulah Orang yang Shalat Sunnah Menghadap
 
574. Jabir bin Abdullah r.a. berkata, "Nabi shalat sunnah sedangkan beliau berkendaraan dengan tidak menghadap kiblat." (Dan dari jalan lain dari Jabir, "Aku melihat Nabi pada waktu Perang Anmar melakukan shalat sunnah di atas kendaraannya dengan menghadap ke arah timur 5/55). Maka, apabila beliau hendak melakukan shalat wajib, beliau turun, lalu menghadap kiblat."
 

Bab Ke-8: Berisyarat Di Atas Kendaraan
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu Umar yang akan disebutkan pada nomor 578.")


Bab Ke-9: Turun dari Kendaraan Untuk Mengerjakan Shalat Wajib
 
575. Amir bin Rabi'ah berkata, "Aku melihat Rasulullah dan beliau berada di atas kendaraan mengerjakan shalat pada malam hari (2/38).[11] Beliau memberikan isyarat dengan kepalanya dengan menghadap ke arah mana saja kendaraannya menghadap. Beliau tidak pernah melakukannya pada shalat wajib."

Salim berkata,[12] "Abdullah biasa melakukan shalat malam di atas kendaraannya ketika sedang bepergian dengan tidak menghiraukan ke mana wajahnya menghadap. Ibnu Umar berkata, 'Rasulullah pernah shalat malam di atas kendaraan dengan menghadap ke arah mana saja, dan melakukan shalat witir di atasnya. Hanya saja beliau tidak melakukan shalat wajib di atasnya.'"


Bab Ke-10: Shalat Tathawwu' di Atas Keledai
 
576. Anas bin Sirin berkata, "Kami menemui Anas bin Malik ketika datang dari Syam, lalu kami berjumpa dengannya di desa Ainut Tamar.[13] Aku melihat nya shalat di atas keledai. Wajahnya di sebelah kiri kiblat, kemudian aku berkata, 'Aku melihat engkau shalat tanpa menghadap kiblat?' Ia berkata, 'Seandainya saya tidak melihat Nabi melakukannya, niscaya saya tidak melakukan yang tadi saya lakukan.'"


Bab Ke-11: Orang yang Tidak Melakukan Shalat Sunnah Sesudah dan Sebelum Shalat Wajib di Dalam Bepergian
 
577. Anas r.a. berkata, "Saya menemani Nabi, maka beliau tidak pernah menambah dari dua rakaat di dalam bepergian. Demikian pula yang saya alami bersama Abu Bakar, Umar, dan Utsman radhiyallahu anhum, padahal Allah berfirman, 'Sesungguhnya pada diri Rasulullah terdapat contoh yang baik bagi kamu sekalian.'"


Bab Ke-12: Orang yang Shalat Tathawwu' dalam Bepergian, Tetapi Bukan Shalat Rawatib Sehabis Shalat Fardhu Ataupun Sebelumnya
 
Nabi saw. melakukan dua rakaat shalat fajar di dalam bepergian.[14]
 
578. Ibnu Umar mengatakan bahwa Rasulullah saw. shalat sunnah (dalam bepergian 2/37) di atas punggung kendaraannya dan menghadapkan mukanya ke arah mana pun kendaraannya itu menuju. Beliau memberikan isyarat dengan kepala (setiap berpindah dari satu rukun ke rukun lain) dan berwitir di atas kendaraan. Cara demikian itu juga di lakukan oleh Abdullah bin Umar.
 

Bab Ke-13: Menjama' Shalat dalam Bepergian Antara Magrib dan Isya
 
Ibnu Abbas r.a. berkata, "Rasulullah menjama' antara shalat zhuhur dan ashar apabila berada di dalam perjalanan (bepergian), dan menjama' antara magrib dan isya."[15]
 
Anas bin Malik r.a. berkata, "Rasulullah menjama' antara shalat magrib dan isya di dalam bepergian."[16]
 

Bab Ke-14: Apakah Berazan dan Beriqamah Jika Menjama' Antara Shalat Magrib dan Isya
 
Anas r.a mengatakan bahwa Rasulullah saw. menjama' antara kedua shalat ini, yakni magrib dan isya dalam bepergian.


Bab Ke-15: Mengakhirkan Shalat Zhuhur Sampai Waktu Ashar Apabila Bepergian Sebelum Matahari Condong ke Barat

Dalam bab ini terdapat riwayat Ibnu Abbas dari Nabi saw.[17]
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Anas yang tercantum dalam bab sesudahnya.")


Bab Ke-16: Apabila Bepergian Setelah Matahari Condong ke Barat, Beliau Shalat Zhuhur Dulu Lalu Menaiki Kendaraannya
 
579. Anas bin Malik r.a. berkata, "Apabila Nabi berangkat sebelum matahari condong ke barat (sebelum zhuhur), maka diundurnya shalat zhuhur hingga waktu ashar,[18] kemudian dijamanya keduanya. Apabila matahari telah condong sebelum berangkat, beliau shalat zhuhur lebih dahulu, sesudah itu baru beliau menaiki kendaraannya."


Bab Ke-17: Shalat Orang yang Duduk
 
580. Imran bin Hushain, orang yang terkena penyakit wasir, berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah perihal orang yang shalat dengan duduk. Beliau bersabda, 'Jika (dan dalam satu riwayat: orang yang 2/41) shalat dengan berdiri, maka itulah yang paling utama. Orang yang shalat dengan duduk, maka pahala nya seperdua pahala shalat dengan berdiri. Dan orang yang shalat dengan berbaring, maka pahalanya seperdua orang yang shalat dengan duduk"' (Dan dalam satu riwayat dari Imran bin Hushain, katanya, "Saya terkena penyakit wasir, lalu saya bertanya kepada Nabi tentang cara shalat. Kemudian beliau menjawab, 'Shalatlah dengan berdiri. Jika tidak dapat, shalatlah dengan duduk Dan, jika tidak dapat, shalatlah dengan berbaring.")


Bab Ke-18: Shalat Orang Sambil Duduk dengan Memberikan Isyarat
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Imran tersebut di muka.")


Bab Ke-19: Orang yang Tidak Berkuasa Duduk, Maka Boleh Shalat di Atas Lambungnya (Sambil Berbaring)
 
Atha' berkata, "Kalau ia tidak mampu berpindah menghadap kiblat, ia boleh melakukan shalat ke mana saja wajahnya menghadap."[19]
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Imran tadi.")


Bab Ke-20: Jika Shalat dengan Duduk Lalu Sehat Kembali atau Merasakan Ada Keringanan pada Tubuhnya (Yakni Penyakitnya Berkurang), Maka Ia Menyempurnakan Shalat yang Masih Tersisa (Dengan Berdiri)

Al-Hasan berkata, "Kalau si sakit mau, boleh ia shalat dua rakaat sambil berdiri, dan yang dua rakaat sambil duduk."[20]
 
581. Aisyah r.a. berkata, "Saya tidak pernah melihat Nabi shalat malam dengan duduk sampai beliau tua. Maka, beliau membaca dengan duduk, sampai apabila beliau hendak ruku, maka beliau berdiri. Lalu, beliau membaca sekitar 30 ayat atau 40 ayat, kemudian ruku dan sujud. Beliau lakukan hal serupa pada rakaat yang kedua. Apabila telah selesai, beliau memandang(ku). (Dan dalam satu riwayat: beliau melakukan shalat dua rakaat 2/52). Jika saya bangun, beliau bercakap-cakap denganku. Dan, jika saya tidur, beliau berbaring (atas lambung kanannya 2/50) hingga dikumandangkan azan untuk shalat." Saya bertanya kepada Sufyan, "Sebagian orang meriwayatkannya sebagai dua rakaat fajar?" Sufyan menjawab, "Memang begitu."
 

Catatan Kaki:

[1] Yakni, apabila kami bepergian ke suatu negeri, bukan untuk pindah dan menetap di sana. Permulaan hadits ini menunjukkan makna tersebut.

[2] Kecuali shalat magrib, dan pengecualian ini tidak disebutkan karena sudah jelas.
 
[3] Imam Bukhari mengisyaratkan kepada hadits Abu Hurairah yang akan disebutkan dalam bab ini.
 
[4] Di-maushul-kan oleh Ibnul Mundzir dengan sanad sahih dari Atha' bin Abi Rabah dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas r.a.
 
[5] Yaitu lelaki yang haram menikah dengannya, baik karena hubungan nasab maupun bukan.
 
[6] Yakni shalatlah dengan sempurna (bukan qashar). Ali menjawab, "Tidak, sehingga kita memasukinya." Yakni, kita masih boleh menqashar sehingga kita memasuki kota Kufah (tempat tinggal kita). Karena, selama kita belum memasukinya, berarti masih dihukumi musafir. Demikian keterangan al-Hafizh, dan inilah yang benar.
 
[7] Di-mauhsul-kan oleh Hakim dan Baihaqi dari jalan Wiqa' bin Iyas, dari Ali bin Rabi'ah dari Ali r.a. Dan Wiqa' ini lemah haditsnya, sebagaimana dikatakan oleh al-Hafizh dalam at-Taqrib.

[8] Yakni tentang bolehnya mengqashar dan shalat tamam (sempurna).
 
[9] Di-maushul-kan oleh al-Ismaili dengan panjang. Diriwayatkan dari al-Laits kisah permintaan tolong oleh Abu Dawud dan Ahmad dari jalan Nafi' darinya yang hampir sama redaksinya dengan itu, dan dimaushulkan oleh penyusun (Imam Bukhari) dari jalan lain dari Ibnu Umar.
 
[10] Apa yang disebutkan sesudah Hilal bukanlah kelengkapan hadits mu'allaq itu sebagaimana pemahaman spontan. Tetapi, ia hanyalah kesempurnaan hadits yang maushul.
 
[11] yakni shalat sunnah. Ini termasuk bab memutlakkan sebagian atas keseluruhan (yakni mengucapkan sesuatu secara mutlak atau umum, tetapi yang dimaksud adalah sesuatu yang tertentu - penj.)
 
[12] Di-maushul-kan oleh al-Ismaili. Imam Bukhari memaushulkannya secara ringkas sebagaimana yang akan disebutkan pada hadits berikutnya.
 
[13] Yaitu di suatu jalan jurusan Irak - Syam.
 
[14] Di-maushul-kan oleh Muslim dalam kisah tertidur dari shalat Shubuh (hingga lewat waktu) dari hadits Abu Qatadah (2/138 dan 138-139).
 
[15] Hadits ini diriwayatkan secara mu'allaq oleh Imam Bukhari, tetapi dimaushulkan oleh Baihaqi.
 
[16] Hadits ini juga diriwayatkan oleh penyusun (Imam Bukhari) secara mu'allaq, tetapi diriwayatkannya secara maushul pada bab sesudahnya.
 
[17] Menunjuk kepada haditsnya yang tersebut pada nomor 113 di muka, dan Anda pun sudah mengetahui siapa yang me-maushul-kannya.

[18] Yakni dijamanya antara keduanya pada awal waktu ashar sebagaimana disebutkan dengan jelas dalam riwayat Muslim (2/151).
 
[19] Di-maushul-kan oleh Abdur Razzaq dengan sanad sahih dari Atha'.
 
[20] Di-maushul-kan oleh Ibnu Abi Syaibah, dan di-maushul-kan oleh Tirmidzi dengan lafal lain.
 
Sumber: Ringkasan Shahih Bukhari - M. Nashiruddin Al-Albani - Gema Insani Press

.:: HaditsWeb ::.

Kitab Tahajud



Bab Ke-1: Shalat Tahajud di Waktu Malam dan Firman Allah, "Dan pada sebagian malam hari shalat tahajudlah kamu sebagai suatu tambahan ibadah bagimu."

582. Ibnu Abbas berkata, "Apabila Rasulullah bangun pada malam hari, beliau selalu bertahajud. Beliau berdoa:


'Allaahumma lakalhamdu anta qayyimus (dan dalam riwayat mu'allaq:[1] Qayyamu 8/184) samawaati wal ardhi wa man fiihinna, walakal hamdu, laka mulku (dan dalam satu riwayat: Anta rabbus) samaawaati wal ardhi wa man fiihinna, walakal hamdu, anta nuurus samaawaati wal ardhi wa man fiihinna, wa lakal hamdu, anta malikus samaawaati wal ardhi, wa lakal hamdu, antal haqqu, wawa'dukal haqqu, waliqaa uka haqqun, waqauluka haqqun, wal jannatu haqqun, wan naaru haqqun, wannabbiyuuna haqqun, wa muhammadun sallaahu 'alaihi wa sallama haqqun, wassa'atu haqqun. Allaahumma laka aslamtu, wa bika aamantu, wa'alaika tawakkaltu, wa ilaika anabtu, wabika khaashamtu, wa ilaika haakamtu, faghfir lii maa qaddamtu wamaa akhrartu, wamaa asrartu wamaa a'lantu, [wamaa anta a'lamu bihii minnii], antal muqaddimu wa antal muakhkhiru, (anta ilaahii 8/ 198), laa ilaaha illaa anta, au laa ilaaha (lii 8/167) ghairuka.'

'Ya Allah, bagi Mu segala puji, Engkau penegak langit, bumi dan apa yang ada padanya. Bagi-Mulah segala puji, kepunyaan Engkaulah kerajaan (dalam satu riwayat: Engkaulah Tuhan) langit, bumi, dan apa yang ada padanya. Bagi-Mulah segala puji, Engkaulah Pemberi cahaya langit dan bumi dan apa saja yang ada di dalamnya. Bagi-Mulah segala puji, Engkaulah Penguasa langit dan bumi. Bagi-Mulah segala puji, Engkaulah Yang Maha Benar, janji-Mu itu benar, bertemu dengan-Mu adalah benar, firman-Mu adalah benar, surga itu benar, neraka itu benar, para nabi itu benar, Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam itu benar, kiamat itu benar. Ya Allah, hanya kepada-Mulah saya berserah diri, kepada-Mulah saya beriman, kepada-Mu saya bertawakal. Kepada-Mu saya kembali, kepada-Mu saya mengadu, dan kepada-Mu saya berhukum. Maka, ampunilah dosaku yang telah lampau dan yang kemudian, yang saya sembunyikan dan yang terang-terangan, dan yang lebih Engkau ketahui daripada saya. Engkaulah yang mendahulukan dan Engkaulah yang mengemudiankan. (Engkaulah Tuhanku 8/198), tidak ada tuhan melainkan Engkau, atau tiada tuhan (bagiku 8/167) selain Engkau'."

Mujahid[2] berkata, "Al-Qayyuum artinya yang mengurusi segala sesuatu." Umar[3] membaca "Al-Qayyaam", dan keduanya adalah benar.


Bab Ke-2: Keutamaan Melakukan Shalat Malam
 
(Saya berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu Umar yang tersebut pada '91 -AT-TA'BIR /25 - BAB'.")
 

Bab Ke-3: Panjangnya Sujud dalam Melakukan Shalat Malam
 
583. Aisyah berkata, "Rasulullah shalat (malam) sebelas (dan dalam satu riwayat: tiga belas 2/52) rakaat. Memang begitulah shalat beliau. Beliau sujud dalam shalat nya itu untuk satu kali sujud selama seseorang dari kamu membaca kira-kira lima puluh ayat sebelum beliau mengangkat kepalanya. Beliau biasa melakukan shalat (sesudah mendengar azan subuh) dua rakaat yang ringan dan (sebelum shalat subuh) sehingga aku bertanya-tanya, 'Apakah beliau membaca al-Faatihah?' (2/53). Kemudian beliau berbaring di lambungnya yang kanan, hingga datang orang memberitahukannya untuk shalat (subuh)."

 
Bab Ke-4: Meninggalkan Shalatullail untuk Orang Sakit
 
584. Jundub berkata, "Nabi sakit, maka beliau tidak mendirikan shalat satu malam atau dua malam."

585. Jundub bin Abdullah berkata, "Jibril tidak mendatangi Nabi, kemudian ada seorang wanita dari kaum Quraisy berkata, 'Setannya Muhammad terlambat datang kepada Muhammad (yakni agak lama tidak datang kepada beliau).' Kemudian turunlah ayat, 'Wadhdhuhaa wal-laili idzaa sajaa. Maa wadda'aka Rabbuka wamaa qalaa.'"


Bab Ke-5: Anjuran Nabi dengan Sangat untuk Mengerjakan Shalatullail dan Shalat-Shalat Sunnah lain, Tetapi Tidak Mewajibkannya
 
Nabi saw. mengetuk pintu Fatimah dan Ali pada suatu malam untuk shalat.[4]

586. Aisyah berkata, "Sesungguhnya Rasulullah meninggalkan amal padahal beliau senang untuk mengamalkannya, karena takut manusia mengamalkannya lalu difardhukan atas mereka. Saya tidak (pernah melihat Rasulullah 2/54) melakukan shalat sunnah seperti shalat sunnah dhuha, dan sesungguhnya saya mengerjakannya."[5]
 

Bab Ke-6: Berdirinya Nabi dalam Shalat Malam Sehingga Kedua Kakinya Bengkak
 
Aisyah berkata, "Nabi biasa melakukan shalat malam hingga bengkak kedua kaki beliau."[6]
 
587. Mughirah bin Syu'bah berkata, "Sesungguhnya Rasulullah bangun untuk shalat sehingga kedua telapak kaki atau kedua betis beliau bengkak. Lalu dikatakan kepada beliau, 'Allah mengampuni dosa-dosamu terdahulu dan yang kemudian, mengapa engkau masih shalat seperti itu?' Lalu, beliau menjawab, 'Apakah tidak sepantasnya bagiku menjadi hamba yang bersyukur?'"
 

Bab Ke-7: Orang yang Tidur di Waktu Sahar (Dini Hari Menjelang Subuh)
 
588. Masruq berkata, "Aku bertanya kepada Aisyah, 'Apakah amal yang paling disukai Nabi?' Ia menjawab, 'Amal yang dilakukan secara terus-menerus.' (Dalam satu riwayat: 'Amal yang paling disukai Rasulullah ialah yang dilakukan oleh pelakunya secara konstan/ajeg.' 7/181). Lalu aku bertanya lagi, 'Kapan beliau bangun?' Aisyah menjawab, 'Apabila telah mendengar kokok ayam.'" (Dalam satu riwayat: 'Apabila mendengar kokok ayam, beliau bangun lalu mengerjakan shalat)

589. Aisyah berkata, "Pada waktu sahar (dini hari menjelang subuh) aku tidak menjumpai beliau (Nabi) di tempatku kecuali dalam keadaan tidur."


Bab Ke-8: Orang yang Bangun pada Waktu Sahar Tetapi Tidak Tidur Sehingga Mengerjakan Shalat Subuh
 
(Aku berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Anas bin Malik yang tercantum pada nomor 322.")
 

Bab Ke-9: Lamanya Berdiri dalam Shalatullail
 
590. Abdullah (bin Mas'ud) r.a. berkata, "Aku shalat bersama Nabi pada suatu malam, maka beliau senantiasa berdiri sehingga aku bermaksud dengan buruk." Ditanyakan (kepada Abdullah), "Apakah yang Anda maksudkan?" Ia menjawab, "Aku bermaksud duduk dan membiarkan Nabi."


Bab Ke-10: Cara Shalat Nabi dan Berapa Rakaat Shalat Beliau pada Waktu Malam
 
591. Masruq berkata, "Aku bertanya kepada Aisyah tentang shalat malam Rasulullah.' Aisyah menjawab, 'Adakalanya tujuh, sembilan, dan ada kalanya sebelas rakaat, selain dua rakaat fajar.'"
 
592. Aisyah berkata, "Nabi biasa melakukan shalat malam tiga belas rakaat, termasuk witir dan shalat fajar dua rakaat."


Bab Ke-11: Shalat Malam Nabi, Tidurnya, serta Mengenai Apa yang Dihapuskan dari Shalat Malam Itu, dan Firman Allah, "Hai orang yang berselimut (Muhammad), bangunlah (untuk shalat) di malam hari, kecuali sedikit (darinya), (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit, atau lebih dari seperdua itu. Bacalah Al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan. Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu pada waktu siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak)." (al-Muzzammil: 1-7)

Firman Allah, 'Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu. Karena itu, bacalaah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah. Maka, bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu, niscaya kamu memperoleh (balasan) nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan paling besar pahalanya." (al-Muzzammil: 20)

Ibnu Abbas r.a. berkata, "Nasya'a berarti berdiri, menggunakan bahasa Habasyah.[7] Witha'an berarti merasa cocok dengan Al-Qur'an, lebih mengesankan pada pendengaran, pandangan, dan hati.[8] Dan, liyuwaathi'uu berarti mendapat kecocokan."[9]

593. Anas berkata, "Rasulullah tidak berpuasa dalam satu bulan sehingga aku menduga beliau tidak puasa pada bulan itu. Beliau berpuasa dalam bulan lain sehingga aku menduga bahwa beliau tidak berbuka sedikit pun darinya. Jika kamu ingin melihatnya shalat tengah malam, kamu akan dapat melihatnya. Dan, jika kamu ingin melihatnya tidur, kamu juga bisa melihatnya."


Bab Ke-12: Ikatan Setan pada Tengkuk (Leher) Jika Seseorang Tidak Shalat Malam
 
594. Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, "Setan mengikat tengkuk salah seorang di antara kamu pada waktu tidur dengan tiga ikatan. Pada setiap ikatan dikatakan, 'Bagimu malam yang panjang, maka tidurlah.' Apabila ia bangun dan ingat kepada Allah, maka lepaslah satu ikatan. Jika ia berwudhu, maka terlepaslah satu ikatan (lagi). Dan, jika ia mengerjakan shalat, maka terlepaslah seluruh ikatannya. Ia memasuki pagi hari dengan tangkas dan segar jiwanya. Jika tidak, maka ia masuk pagi dengan jiwa yang buruk dan malas."


Bab Ke-13: Jika Seseorang Tidur dan Tidak Shalat Malam, Maka Setan Telah Kencing di Telinganya
 
595. Abdullah berkata, "Disebutkan di sisi Nabi bahwa ada seorang laki-laki yang selalu tidur sampai pagi tanpa mengerjakan shalat (malam). Lalu beliau bersabda, 'Setan telah kencing di telinganya.'"


Bab Ke-14: Berdoa dan Shalat pada Akhir Malam
 
Allah berfirman, "Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun kepada Allah." (adz-Dzaariyaat: 17-18)

596. Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah bersabda, 'Tuhan kita Yang Mahasuci dan Mahatinggi turun ke langit dunia[10] setiap malam ketika tinggal sepertiga malam yang akhir dengan berfirman, 'Siapakah yang mau berdoa kepada-Ku lalu Aku kabulkan? Siapakah yang mau meminta kepada-Ku lalu Aku kabulkan? Siapa yang mau meminta ampun kepada-Ku lalu Aku ampuni?'"


Bab Ke-15: Orang yang Tidur di Permulaan Malam dan Menghidupkan (Yakni Bangun untuk Shalatullail) pada Akhir Malam Itu
 
Salman berkata kepada Abud Darda' r.a., "Tidurlah." Kemudian pada akhir malam, Salman berkata, "Bangunlah." Nabi saw bersabda, "Salman benar."[11]
 
597. Al-Aswad berkata, "Aku bertanya kepada Aisyah, 'Bagaimanakah shalat Rasulullah di malam hari?' Ia menjawab, 'Beliau tidur pada permulaan malam, dan bangun di akhir malam, lalu shalat. Kemudian kembali ke tempat tidur beliau. Apabila muadzin mengumandangkan azan, maka beliau melompat. Jika beliau mempunyai keperluan, maka beliau mandi. Jika tidak, maka beliau berwudhu dan keluar.'"
 

Bab Ke-16: Berdirinya Nabi di Waktu Malam dalam Bulan Ramadhan dan Bulan Iainnya

598. Abu Salamah bin Abdurrahman mengatakan bahwa ia bertanya kepada Aisyah, "Bagaimanakah shalat Nabi di bulan Ramadhan?" Aisyah menjawab, "Rasulullah baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lain tidak pernah menambah atas sebelas rakaat, yaitu beliau shalat empat rakaat. Namun, jangan kamu tanyakan lagi tentang baik dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat (lagi), dan jangan kamu tanyakan lagi tentang baik dan panjangnya. Lalu, beliau shalat tiga rakaat. Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum witir?' Beliau menjawab, 'Wahai Aisyah, kedua mataku tidur, tetapi hatiku tidak tidur.'"


Bab Ke-17: Keutamaan Bersuci dan Shalat Sesudah Wudhu di Waktu Malam dan Siang
 
599. Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Nabi pernah bersabda kepada Bilal pada waktu subuh,[12] "Hai Bilal, coba ceritakan kepadaku amal yang paling kamu sukai dalam Islam. Karena aku mendengar bunyi terompahmu di hadapanku di surga." Bilal berkata, 'Tidak ada amal yang paling kusukai melainkan apabila aku selesai berwudhu pada waktu siang ataupun malam, melainkan aku shalat dengan wudhu itu, seberapa dapat aku kerjakan."


Bab Ke-18: Tidak Disukai Memberatkan Diri Sendiri dalam Beribadah
 
600. Anas bin Malik r.a. berkata, "Nabi masuk, tiba-tiba ada tali membentang antara dua tiang masjid. Beliau bertanya, 'Tali apakah ini?' Mereka menjawab, 'Ini adalah tali Zainab. Apabila ia letih, maka ia bergantung (bersandar) padanya.' Lalu Nabi bersabda, 'Tidak, lepaskan tali itu. Hendaklah salah seorang di antaramu shalat secara tangkas. Apabila letih, maka duduklah.'"

 
Bab Ke-19: Makruh Meninggalkan Shalat di Waktu Malam bagi Orang yang Sudah Biasa Mengerjakannya
 
601. Abdullah bin Amru ibnul Ash berkata, "Rasulullah berkata kepadaku, 'Wahai Abdullah, janganlah kamu menjadi seperti Fulan. Ia dahulu biasa mengerjakan shalat malam, lalu meninggalkan shalat malam itu.'"


Bab Ke-20: Keutamaan Orang yang Bangun Malam Lantas Mengucapkan Istighfar, Tasbih, atau Lainnya, Kemudian Mengerjakan Shalatullail
 
602. Ubadah bin Shamit mengatakan bahwa Nabi bersabda, "Barangsiapa yang bangun[13] di malam hari dan mengucapkan:


'Tiada tuhan melainkan Allah Yang Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya. Bagi-Nya segala kerajaan dan segala pujian, Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Segala puji bagi Allah, Mahasuci Allah, tidak ada tuhan melainkan Allah, Allah Mahabesar, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah', kemudian ia mengucapkan, 'Ya Allah, ampunilah aku', atau ia berdoa, maka dikabulkanlah doanya. Jika ia berwudhu dan shalat, maka diterima (shalatnya)."

603. Al-Haitsam bin Abu Sinan mengatakan bahwa ia mendengar Abu Hurairah r.a. menceritakan kisah-kisahnya.[14] Ia menuturkan bahwa Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya saudaramu tidak berkata jelek." Maksud beliau adaIah Abdullah bin Rawahah, ketika ia berkata, "Di sisi kami ada Rasulullah yang membaca kitab Allah. Ketika itulah kebaikan gemerlap memancar dari fajar. Beliau memperlihatkan petunjuk setelah kita buta. Dan hati kita percaya apa yang disabdakan bakal terjadi. Beliau bermalam dengan menjauhkan lambung dari hamparan di kala pembaringan-pembaringan merasa berat oleh orang-orang yang mempersekutukan Tuhan."


Bab Ke-21: Mengekalkan Shalat Sunnah Dua Rakaat Sebelum Subuh
 
604. Aisyah r.a. berkata, "Nabi melakukan shalat isya. Sesudah itu beliau shalat delapan rakaat. Kemudian shalat dua rakaat sambil duduk. Lalu, beliau shalat lagi dua rakaat antara azan dan iqamah. Beliau tidak pernah meninggalkan yang dua rakaat (antara azan dan iqamah subuh) itu."


Bab Ke-22: Tidur Berbaring pada Sisi Badan Sebelah Kanan Sesudah Mengerjakan Dua Rakaat Fajar
 
(Aku berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya bagian dari hadits Aisyah yang tercantum pada nomor 528 dan 581 di muka.")


Bab Ke-23: Orang yang Bercakap-cakap Sesudah Mengerjakan Dua Rakaat Sunnah Fajar dan Tidak Berbaring
 
(Aku berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya bagian dari hadits Aisyah yang tertera pada nomor 581 tadi.")
 

Bab Ke-24: Keterangan Mengenai Shalat Sunnah Dikerjakan Dua Rakaat Dua Rakaat
 
Hal itu diriwayatkan dari Abu Ammar, Abu Dzar, Anas, Jabir bin Zaid, Ikrimah, dan az-Zuhri radhiyallahu 'anhum.[15]
 
Yahya bin Sa'id al-Anshari berkata, "Aku tidak melihat fuqaha-fuqaha negeri kami melainkan mereka memberi salam pada setiap dua rakaat dari shalat sunnah siang hari."

605. Jabir bin Abdullah berkata, "Rasulullah mengajarkan kepada kami untuk istikharah (minta dipilihkan Allah) dalam seluruh urusan sebagaimana beliau mengajarkan surah Al-Qur'an kepada kami. Beliau bersabda, 'Apabila salah seorang di antara kamu sekalian bermaksud akan sesuatu, maka hendaklah ia shalat dua rakaat selain fardhu. Kemudian hendaklah ia mengucapkan:


'Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pilihan kepada Mu dari anugerah Mu yang agung. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa dan aku tidak berkuasa. Engkau mengetahui dan aku tidak mengetahui, dan Engkaulah Zat Yang Maha Mengetahui perkara-perkara yang gaib. Ya Allah, jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini (kemudian ia sebutkan hal itu 8/168) baik bagiku dalam agamaku, kehidupanku, dan akibat urusanku, (atau beliau bersabda: kesegeraan/keduniaan urusan aku dan keakhirannya/keakhiratannya) maka kuasakanlah bagiku, mudahkanlah bagiku, kemudian berkahilah bagiku padanya. Jika Engkau mengetahui bahwa urusan ini (kemudian ia sebutkan hal itu) buruk bagiku dalam hal agama, kehidupan, dan kesudahan urusanku (atau beliau bersabda: kesegaraan/keduniaan urusan aku dan keakhirannya/keakhiratannya), maka palingkanlah ia dariku dan palingkanlah aku darinya. Dapatkanlah bagiku kebaikan di mana saja ia berada, kemudian ridhailah aku dengannya.' Kemudian ia sebutkan keperluannya.'"

Abu Abdillah (Imam Bukhari) berkata, "Abu Hurairah berkata, 'Nabi berpesan kepadaku supaya melakukan shalat dhuha dua rakaat."[16]
 
Itban berkata, "Pada suatu hari ketika, sudah agak siang, Rasulullah datang kepadaku bersama Abu Bakar. Lalu, kami berbaris di belakang beliau, dan beliau shalat dua rakaat."[17]
 

Bab Ke-25: Bercakap-cakap Setelah Mengerjakan Shalat Fajar Sebanyak Dua Rakaat
 
(Aku berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya bagian dari hadits Aisyah yang tercantum pada nomor 581 di muka.")


Bab Ke-26: Kesungguhan Memperhatikan Dua Rakaat Sunnah Fajar dan Orang Yang Menamakannya Shalat Tathawwu'

606. Aisyah r.a. berkata, "Nabi tidak memelihara shalat-shalat sunnah melebihi perhatiannya terhadap dua rakaat fajar."


Bab Ke-27: Apa yang Dibaca dalam Shalat Sunnah Dua Rakaat Fajar
 



Bab-Bab Shalat Tathawwu'



Bab Ke-28: Mengerjakan Shalat Sunnah Sesudah Shalat Wajib

(Aku berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu Umar dan Hafshah yang tercantum pada nomor 501 dan 502 di muka.")


Bab Ke-29: Orang yang Tidak Mengerjakan Shalat Sunnah Sesudah Mengerjakan Shalat Fardhu
 
(Aku berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Ibnu Abbas yang tertera pada nomor 303 di muka.")


Bab Ke-30: Shalat Dhuha di dalam Bepergian
607. Muwarriq berkata, "Aku bertanya kepada Ibnu Umar, 'Apakah Anda shalat dhuha?' Ia menjawab, 'Tidak.' Aku bertanya lagi, 'Kalau Umar, bagaimana?' Ia menjawab, 'Tidak.' Aku bertanya lagi, 'Kalau Abu Bakar?' Ia menjawab, 'Tidak.' Aku bertanya, 'Nabi?' Ia menjawab, 'Aku kira tidak.'"[18]


Bab Ke-31: Orang yang Tidak Mengerjakan Shalat Dhuha dan Berpendapat bahwa Meninggalkannya Itu Mubah
 
(Aku berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya bagian dari hadits Aisyah yang tercantum pada nomor 586 di muka.")
 

Bab Ke-32: Mengerjakan Shalat Dhuha di Waktu Hadhar (di Waktu Sedang Tidak Bepergian)
 
Demikian dikatakan oleh Itban bin Malik dari Nabi.[19]
 
608. Abu Hurairah berkata, "Kekasih (baca: Rasulullah) aku berpesan kepadaku dengan tiga hal yang tidak aku tinggalkan sampai mati. Yaitu, puasa tiga hari setiap bulan, shalat (dua rakaat, 2/274) dhuha, dan tidur di atas witir (sebelum tidur shalat witir dulu)."[20]
 

Bab Ke-33: Dua Rakaat Sebelum Zhuhur
 
609. Aisyah r.a. mengatakan bahwa Nabi saw. tidak pernah meninggalkan empat rakaat sebelum zuhur dan dua rakaat sebelum subuh.


Bab Ke-34: Shalat Sebelum Magrib
 
610. Abdullah al-Muzanni mengatakan bahwa Nabi saw bersabda, "Shalat lah sebelum shalat magrib." Pada ketiga kalinya beliau bersabda, "Bagi siapa yang mau."[21] Karena, beliau tidak senang orang-orang menjadikannya sebagai kebiasaan yang tetap (sunnah).
 
611. Yazid bin Abu Habib berkata, "Aku mendengar Martsad bin Abdullah al-Yazani berkata, 'Aku mendatangi 'Uqbah bin 'Amir al-Juhani, lalu aku bertanya, 'Tidak patutkah aku menunjukkan keherananku kepadamu perihal Abu Tamim yang mengerjakan shalat dua rakaat sebelum shalat magrib?' Uqbah lalu menjawab, 'Kami juga mengerjakan hal itu pada zaman hidup Rasulullah.' Aku bertanya, 'Apa yang menghalang-halangi kamu untuk mengerjakan shalat itu sekarang?' Ia menjawab, 'Kesibukan.'"


Bab Ke-35: Shalat Shalat Sunnah dengan Berjamaah
 
Hal ini dikemukakan oleh Anas dan Aisyah r.a. dari Nabi.[22]
 
(Aku berkata, "Dalam bab ini Imam Bukhari meriwayatkan dengan isnadnya hadits Itban bin Malik yang tercantum pada nomor 227 di muka.")


Bab Ke-36: Shalat Sunnah di Rumah
 
612. Ibnu Umar r.a. berkata, "Rasulullah bersabda, 'Kerjakanlah beberapa di antara shalatmu di rumahmu, dan jangan kamu jadikan rumahmu itu seperti kuburan (tidak kamu tempati shalat sunnah).'"
 

Catatan Kaki:

[1] Di-maushul-kan oleh Malik, Muslim, dan Ahmad (1/298 dan 308). Saya (al-Albani) berkata, 'Tambahan ini adalah mu'allaq, dan ia tidak menurut syarat Ash-Shahih, karena diriwayatkan dengan sanadnya dari Sufyan yang berkata, 'Abdul Karim Abu Umayyah menambahkan' Lalu ia menyebutkannya. Di samping Abu Umayyah tidak menyebutkan isnadnya dalam tambahan ini, sedangkan dia sendiri dhaif dan sudah terkenal kelemahannya di kalangan para ahli hadits. Al-Hafizh berkata, 'Bukhari tidak bermaksud mentakhrijnya. Oleh karena itu, para ahli hadits tidak menganggapnya sebagai perawi Bukhari. Tambahan darinya hanya terjadi pada informasi, bukan dimaksudkan untuk riwayatnya.'"
 
[2] Di-maushul-kan oleh al-Faryabi di dalam tafsirnya.
 
[3] Di-maushul-kan oleh Abu Ubaid di dalam Fadhaa'ilul Qur'an dan Ibnu Abi Daud di dalam al-Mashaahif dari beberapa jalan dari Umar.
 
[4] Akan disebutkan secara maushul pada "96 AL-I'TISHAM/18- BAB".
 
[5] Demikianlah lafal ini di sini (yakni "lausabbihuha"), demikian pula di tempat lain yang diisyaratkan dalam matan ini. Akan tetapi, al-Hafizh mengatakan di dalam mensyarah lafal ini, "Demikianlah di sini dari kata subhah. Telah disebutkan di muka dalam bab Tahridh ala qiyaamil-lail dengan lafal, "Wa innii la astahibbuhaa," dari kata istihbab 'menyukai', dan ini dari riwayat Malik." Saya (al-Albani) berkata, "Anda lihat bahwa lafal ini sesuai dengan lafal yang di sana. Tampaknya ini karena perbedaan para perawi Ash-Shahih, juga terjadi pada perawi-perawi al Muwaththa' (1/168). Silakan periksa."
 
[6] Di-maushul-kan oleh penyusun (Imam Bukhari) dalam "65 -AT-TAFSIR / Fath - 3".
 
[7] Di-maushul-kan oleh Abd bin Humaid dengan isnad yang sahih darinya.
 
[8] Juga di-maushul-kan oleh Abd bin Humaid dari jalan Mujahid: "asyaddu wath'an" berarti cocok dengan pendengaran, pandangan, dan hatimu.
 
[9] Al-Hafizh berkata, "Kalimat ini merupakan penafsiran bebas, dan disebutkannya kalimat ini di sini hanyalah untuk menguatkan penafsiran pertama. Riwayat ini di-maushul-kan oleh ath-Thabari dari Ibnu Abbas tetapi dengan lafal, 'Kiyusyaabihuu.'"
 
[10] AI-Hafizh Ibnu Hajar mengikuti jumhur ulama menakwilkan turunnya Allah ini dengan turunnya perintah-Nya atau turunnya malaikat yang berseru seperti itu. Ia menguatkan takwil ini dengan membawakan riwayat Nasa'i yang berbunyi, "Sesungguhnya Allah memberi kesempatan hingga berlalu tengah malam. Kemudian memerintahkan penyeru (malaikat) yang menyerukan, 'Adakah orang yang mau berdoa lalu dikabulkan doanya?'" Al-Hafizh tidak memberi komentar apa-apa tentang riwayat hadits ini, sehingga menimbulkan dugaan bahwa beliau mensahihkannya. Padahal tidak demikian, karena hadits Nasa'i itu syadz 'ganjil' lagi mungkar, karena lafal ini diriwayatkan sendirian oleh Hafsh bin Ghiyats tanpa ada perawi lain yang meriwayatkannya dengan lafal itu dari Abu Hurairah. Padahal, hadits ini diriwayatkan dari Abu Hurairah melalui tujuh jalan periwayatan dengan isnad-isnad yang sahih dengan lafal seperti yang tercantum di dalam kitab ini, yang secara tegas dan jelas mengatakan bahwa Allahlah yang berfirman, "Adakah orang yang mau berdoa", dan bukan malaikat yang berkata begitu. Dalam riwayat itu dari semua jalan periwayatannya secara tegas disebutkan turunnya Allah yang tidak dikemukakan oleh Hafsh. Masalah turun dan berfirmannya Allah itu juga disebutkan pada semua jalan hadits dari sahabat-sahabat selain Abu Hurairah, hingga mencapai tingkat mutawatir. Aku telah men-tahqiq kesimpulan ini di dalam al-Ahaditsudh Dha'ifah nomor 3898.
 
[11] Ini adalah bagian hadits Abu Juhaifah yang di-maushul-kan penyusun pada "30 -ASH-SHAUM / 51 - BAB".
 
[12] Al-Hafizh berkata, "Ini mengisyaratkan bahwa hal itu terjadi di dalam mimpi. Karena, sudah menjadi kebiasaan Nabi menceritakan mimpinya dengan mengungkapkan apa yang beliau lihat pada sahabat-sahabat beliau-sebagaimana yang akan disebutkan pada Kitab at Ta'bir-sesudah shalat subuh." Aku (Albani) katakan, "Yakni hadits bab 48 pada '91-AT-TA'BIR'."
 
[13] Lafal "Ta'aarra" artinya bangun disertai dengan mengucapkan istighfar, tasbih, atau lainnya.
 
[14] Yakni nasihat-nasihatnya. Tampaknya perkataan, "Sesungguhnya saudaramu" adalah perkataan Abu Hurairah sendiri sebagaimana dijelaskan dalam al-Fath. Silakan periksa.
 
[15] Al-Hafizh berkata, "Mengenai riwayat Ammar, seolah-olah Imam Bukhari mengisyaratkan kepada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari jalan Abdur Rahman ibnul-Harits bin Hisyam dari Ammar bin Yasir bahwa dia masuk masjid, lalu mengerjakan shalat dua rakaat yang singkat. Isnad riwayat ini hasan. Sedangkan riwayat Abu Dzar, seolah-olah beliau mengisyaratkan apa yang diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah dari Malik bin Aus dari Abu Dzar, bahwa dia masuk masjid. Lalu datang ke suatu tiang, dan mengerjakan shalat dua rakaat di sebelahnya. Dalam riwayat Anas, seakan Imam Bukhari mengisyaratkan kepada haditsnya yang populer mengenai shalat Nabi dengan mereka di rumahnya dua rakaat. Hadits ini sudah disebutkan dalam bab Shaf-Shaf, dan disebutkannya di sini secara ringkas. Jabir bin Zaid (perawinya) adalah Abusy Sya'sya' al-Bashri, tetapi aku tidak mendapatkan keterangan tentang dia. Adapun riwayat Ikrimah, ialah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Hurma bin Imarah, dari Abu Khaldah, dia berkata, "Aku melihat Ikrimah masuk masjid, lalu mengerjakan shalat dua rakaat." Sedangkan riwayat az-Zuhri, aku tidak menjumpai darinya riwayat yang maushul mengenai masalah ini.

[16] Ini adalah bagian dari hadits yang akan diriwayatkan secara maushul dan lengkap di sini sebentar lagi (32 - BAB).
 
[17] Ini adalah bagian dari hadits Itban di muka yang diriwayatkan secara maushul pada "8-ASH-SHALAT/46-BAB".
 
[18] Bahkan, terdapat riwayat dari Ibnu Umar yang menetapkan bahwa shalat dhuha itu bid'ah sebagaimana akan disebutkan pada permulaan "26-KITABUL UMRAH". Semua itu menunjukkan bahwa Ibnu Umar tidak mengetahui kesunnahan shalat dhuha ini, padahal mengenai shalat ini terdapat riwayat yang sah dari Nabi, baik berupa perbuatan maupun perkataan, sebagaimana akan Anda lihat pada bab berikut.

[19] Di-maushul-kan oleh Imam Ahmad (5/450) dengan sanad sahih darinya, dan oleh penyusun dengan riwayat yang semakna dengannya, dan sudah disebutkan pada "8-ASH-SHALAT / 46-BAB".

[20] Hadits ini memiliki beberapa jalan periwayatan pada Imam Ahmad sebagaimana diisyaratkan pada hadits mu'allaq nomor 162.

[21] Tampaklah bahwa beliau mengucapkan perkataan ini tiga kali, dan pada kali yang ketiga beliau berkata, "Bagi siapa yang mau."

[22] Hadits Anas disebutkan pada nomor 397, dan hadits Aisyah disebutkan pada nomor 398 di muka.
 
Sumber: Ringkasan Shahih Bukhari - M. Nashiruddin Al-Albani - Gema Insani Press

.:: HaditsWeb ::.